Sabtu, 25 Juli 2020

Hikmah: Beban Berat itu Menjadi Penyelamat

Sebuah tulisan yang menarik di WAG Kahmi Forever 5 yang saya simpan disini sebagai pengingat diri. Sarat makna. Ditulis oleh sdr. Sutanto dalam serial "Semangat Subuh". Judulnya saya sesuai.

Selamat membaca, semoga memberi semangat dan inspirasi.

####


HIKAYAT DUA PENDAKI 
GUNUNG

Sebuah foto lama, namun masih cukup baik untuk dipetik kembali hikmahnya. Yaitu tentang insiden yang terjadi belasan tahun silam di China, ketika sebuah truk besar tergelincir saat melintasi jalan layang.

Kepala truk tersebut menerobos pembatas jalan, dan bisa menyebabkan kendaraan berat itu terjun bebas ke bawah. Namun karena muatan yang dibawanya cukup banyak, justru truk itu selamat! Beban berat yang dipikulnya ternyata menahan kepala truk agar tidak terjatuh.

Petugas keamanan lantas datang melakukan operasi penyelamatan, dan orang-orang kemudian ramai mengomentari insiden tersebut bahwa terkadang beban yang berat itu menyelamatkan hidup kita.

Mengingatkan saya kepada kisah tentang seorang lelaki dari India dan temannya yang sedang mendaki gunung Himalaya. Mereka berdua dalam perjalanan turun dari gunung dan berjuang melawan suhu dingin yang ekstrem.

Di tengah perjalanan mereka menjumpai seorang pendaki lain yang kakinya terjepit di antara bebatuan. Sang lelaki memutuskan untuk menolong orang itu, sementara temannya justru memilih untuk terus berjalan menyelamatkan diri sendiri.

Maka tubuh orang yang tidak berdaya itu dipikul di atas punggung sang lelaki dan mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan tertatih-tatih. Sesekali sang lelaki merasa kelelahan, ia istirahat sejenak hingga tenaganya pulih kembali.

Meski penuh perjuangan, mereka berdua tiba di kaki gunung dengan selamat. Namun anehnya justru temannya yang sudah berjalan jauh di depannya ternyata belum sampai. Seharusnya ia sudah tiba lebih dulu.

Hingga beberapa jam kemudian, tim SAR mendapat kabar bahwa temannya itu mati membeku di tengah perjalanan. Tubuhnya tak sanggup melawan cuaca dingin yang menusuk tulang itu.

Tersadarlah si lelaki justru karena beban berat yang ia pikul tersebutlah yang menyebabkan tubuhnya berkeringat dan menjaganya tidak membeku. Ditambah lagi punggungnya yang bersentuhan badan dengan orang yang ia tolong, menjaga panas tubuhnya.

Sekali lagi terbukti bahwa terkadang beban yang berat itu menyelamatkan hidup kita.

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu." (QS. Al-Baqarah 2: 216.

Salam Bertumbuh.
⏰ Ada rezeki baru jika kita mau mencoba kehidupan yang baru!

_Selamat menjalankan ibadah sholat subuh, semoga Allah menerima amal ibadah kita. Aamiin_

Senin, 13 Juli 2020

Tak Perlu Menggurui GONTOR

Oleh: Suhari Abu Fatih
Pengasuh Mahad Alfatih Klaten 

Tak perlu menggurui Gontor, karena jauh sebelum negeri ini lahir Gontor sudah mendidik bangsa ini hingga melahirkan tokoh-tokoh besar! 

Berbagai peristiwa besar sudah dilalui oleh Pondok Modern ini dan Gontor selalu tampil memberi solusi. Tirakatan, hidup sederhana dan menjauh dari gemerlap dunia adalah nafas perjuangan mereka. Manajemen wabah dan epidemi telah menjadi kurikulum dasar mereka, tak perlu kalian ajari! 

Jangankan ancaman kematian karena pandemi, ancaman pembunuhan dan pembantaian karena pengkhianatan PKI pernah mereka lalui, jauh sebelum kalian menetas menjadi manusia. Bahkan mungkin, jauh sebelum kalian menjadi mani di punggung ayah kalian. 

Gontor bukan model pesantren by request yang menuruti apapun usulan dan saran wali santri. Meskipun bisa jadi wali-wali santri itu para praktisi pendidikan, namun belum tentu mereka faham seluk-beluk dunia pesantren. Mungkin mereka menguasai berbagai methode pembelajaran namun belum tentu mereka faham bagaimana menanamkan adab dan budi pekerti kepada santri. 

Maka saat para praktisi pendidikan, termasuk Menteri Nadiem seolah ijma' secara nasional untuk melakukan pembelajaran secara jarak jauh, Gontor 'ngotot' dengan prinsipnya; tidak mungkin akhlaq, adab dan tauhid bisa ditransfer lewat internet. Tidak mungkin kedisplinan dan keteladanan bisa diajarkan via dunia maya. Tidak mungkin a'mal yaumiyah bisa dikontrol via medsos. Ini yang tak difahami oleh banyak kalangan, termasuk Mas Menteri.

Rupanya banyak yang gerah dengan sikap Gontor. Dicarilah kesalahan dan di-tunggu-lah momentum yang tepat untuk menyerang Gontor. 

Saat ditemukan salah satu wali santri asal Sidoarjo positif Corona, maka semua media menyalak tak karuan; anaknya pasti positif juga. Hampir semua media massa mem-blow up isu ini, seolah mereka mendapatkan senjata pamungkas. Gontor pasti tumbang. 

Mereka lupa kalau 'tentara-tentara' Gontor bertebaran dimana-mana. Jaringan Gontor tersebar di seluruh negeri. Maka dengan secepat kilat, klasifikasi dan pembelaan datang dari berbagai lini, digerakkan oleh para alumni. Para kuli tinta itu lupa dengan siapa mereka berurusan. Kalau tidak hati-hati, bisa kualat mereka nanti. Gontor itu keramat. 

Gontor bukan model lembaga yang gemar menengadahkan tangan untuk meminta bantuan atau ikut ramai meng-update data guru agar dapat tunjangan sertifikasi atau ikut menyetorkan data siswa ke dinas agar dapat bantuan operasional sekolah (BOS). Tidak, itu bukan mental Gontor. Mental Gontor itu mental memberi, mental tangan diatas, mental pengorbanan dan keikhlasan. Bukan mental pencari sumbangan. 

Meskipun mencari sumbangan itu bukanlah perilaku yang tercela, namun Gontor tahu persis jika itu mereka lakukan maka idealisme dan manhaj pendidikannya pasti sudah terbeli. Tak ada lagi kemandirian dan kedaulatan untuk mencetak generasi. Kurikulum akan diintervensi dan visi misi lembaga hanya akan jadi mimpi.

Sebenarnya kalau para pihak yang ingin menyalahkan Gontor itu mau bersikap fair, maka semestinya mereka sadar kalau Indonesia ini negara demokrasi. Jangan ada paksaan dan penyeragaman. Tidak perlu mewajibkan semua anak agar tetap di rumah, berbulan-bulan tidak sekolah. 

Kalau ada pihak-pihak yang tidak siap dan tidak mau anak-anaknya bersekolah secara tatap muka ya silahkan saja. Itu hak pribadi. Tidak perlu melarang dan menghalangi wali-wali murid yang ingin anaknya tetap sekolah dan kembali ke pesantren. Apalagi Gontor sudah berusaha membuat protokol yang cukup ketat. 

Sejak covid ini melanda dunia, banyak orang kehilangan akal sehat. Andai pun ada santri Gontor maupun pesantren atau sekolah yang lain terkena penyakit, mestinya kita doakan agar segera diberikan kesembuhan dan kesehatan. Bukan malah disalahkan dan dijadikan buliyan. 

Sama seperti ketika ada warga di kampung kita dikabarkan positif korona, mestinya kita empati dan memberi dukungan baik materiil maupun moril, bukan malah diusir.

Sudahlah, tak perlu menggurui Gontor kalau tidak ingin kualat dunia akhirat! [Opini]

Kamis, 02 Juli 2020

Aneka Ria Nusantara

By Oky Rachmatulloh

Ini nama sebuah acara dalam perhelatan Khutbatul Arsy di Gontor. Pekan perkenalan bagi para santri baru. Disini mereka dikenalkan berbagai budaya yg menggambarkan betapa mereka akan berkawan dengan ribuan orang dari berbagai daerah di Indonesia. Acara ini berisi penampilan Budaya dari tanah serambi mekkah sampai Bumi Cendrawasih.

Iya, dari tari saman, tari lilin, tari apa yg menggunakan sarung dari bangka belitung itu, lenong dari Jakarta, angklung dari sunda, tari reog dari tuan rumah Ponorogo, tari cambuk dari lombok, dan hampir semua budaya daerah ditampilkan. Untuk agar para santri juga tahu, betapa kita ini hidup di Indonesia yg kaya akan budaya dan tradisi. Budaya yg betul-betul perlu kita lestarikan dalam balutan nuansa Islami yg kental. Bukan meniru budaya bangsa lain yg belum tentu sesuai dengan bangsa kita.

Reog ditampilkan tanpa harus membakar kemenyan. Tari cambuk tidak perlu harus mengenai tubuh, cukup mengenai perisainya. Tari papua juga tidak harus dengan membuka auratnya, bahkan lenong betawi pun ditampilkan tanpa ada kelucuan yg menghina orang lain.

Dulu ada sebuah percakapan (sebagaimana yg diceriterakan Ust Amal Fathullah) yg seingat saya antara seorang Ust dan seorang tamu. Pada perbincangan itu diceriterakan bahwa santri Gontor hanya diizinkan berbicara dalam bahasa Indonesia selama dua bulan pertama, setelah itu semuanya wajib berbahasa Arab dan Inggris...

"Lalu bagaimana Gontor mengajarkan tentang Budaya Nusantara kepada para santrinya?? Dimana nasionalismenya??"

Dijawab pertanyaan itu dengan senyum:

"Soal nasioanlisme, jangan pernah tanyakan itu kepada pesantren, karena jiwa tidak mau di jajah itu sudah menjadi Budaya dan tradisi pesantren selama ratusan tahun. Kami upacar setiap 17 agustus, kami upacar sebelum latihan pramuka, pancasila mungkin bukan sesuatu yg kami hafalkan, tapi nilai-nilai pancasila sudah kami terapkan jauh sebelum pancasila itu ditemukan...

...soal mengenal Budaya, setiap tahun kami tampilakan penampilan Budaya berbagai daerah yg ditampilkan secara Islami, sebagai sarana pengenalan Bidaya bangsa kepada para santri..."

Demikianlah kami diajarkan untuk menghargai budaya, tanpa harus kehilangan kepercayaan kami kepada Islam sebagai Agama....

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...