Oleh: Suhari Abu Fatih
Pengasuh Mahad Alfatih Klaten
Tak perlu menggurui Gontor, karena jauh sebelum negeri ini lahir Gontor sudah mendidik bangsa ini hingga melahirkan tokoh-tokoh besar!
Berbagai peristiwa besar sudah dilalui oleh Pondok Modern ini dan Gontor selalu tampil memberi solusi. Tirakatan, hidup sederhana dan menjauh dari gemerlap dunia adalah nafas perjuangan mereka. Manajemen wabah dan epidemi telah menjadi kurikulum dasar mereka, tak perlu kalian ajari!
Jangankan ancaman kematian karena pandemi, ancaman pembunuhan dan pembantaian karena pengkhianatan PKI pernah mereka lalui, jauh sebelum kalian menetas menjadi manusia. Bahkan mungkin, jauh sebelum kalian menjadi mani di punggung ayah kalian.
Gontor bukan model pesantren by request yang menuruti apapun usulan dan saran wali santri. Meskipun bisa jadi wali-wali santri itu para praktisi pendidikan, namun belum tentu mereka faham seluk-beluk dunia pesantren. Mungkin mereka menguasai berbagai methode pembelajaran namun belum tentu mereka faham bagaimana menanamkan adab dan budi pekerti kepada santri.
Maka saat para praktisi pendidikan, termasuk Menteri Nadiem seolah ijma' secara nasional untuk melakukan pembelajaran secara jarak jauh, Gontor 'ngotot' dengan prinsipnya; tidak mungkin akhlaq, adab dan tauhid bisa ditransfer lewat internet. Tidak mungkin kedisplinan dan keteladanan bisa diajarkan via dunia maya. Tidak mungkin a'mal yaumiyah bisa dikontrol via medsos. Ini yang tak difahami oleh banyak kalangan, termasuk Mas Menteri.
Rupanya banyak yang gerah dengan sikap Gontor. Dicarilah kesalahan dan di-tunggu-lah momentum yang tepat untuk menyerang Gontor.
Saat ditemukan salah satu wali santri asal Sidoarjo positif Corona, maka semua media menyalak tak karuan; anaknya pasti positif juga. Hampir semua media massa mem-blow up isu ini, seolah mereka mendapatkan senjata pamungkas. Gontor pasti tumbang.
Mereka lupa kalau 'tentara-tentara' Gontor bertebaran dimana-mana. Jaringan Gontor tersebar di seluruh negeri. Maka dengan secepat kilat, klasifikasi dan pembelaan datang dari berbagai lini, digerakkan oleh para alumni. Para kuli tinta itu lupa dengan siapa mereka berurusan. Kalau tidak hati-hati, bisa kualat mereka nanti. Gontor itu keramat.
Gontor bukan model lembaga yang gemar menengadahkan tangan untuk meminta bantuan atau ikut ramai meng-update data guru agar dapat tunjangan sertifikasi atau ikut menyetorkan data siswa ke dinas agar dapat bantuan operasional sekolah (BOS). Tidak, itu bukan mental Gontor. Mental Gontor itu mental memberi, mental tangan diatas, mental pengorbanan dan keikhlasan. Bukan mental pencari sumbangan.
Meskipun mencari sumbangan itu bukanlah perilaku yang tercela, namun Gontor tahu persis jika itu mereka lakukan maka idealisme dan manhaj pendidikannya pasti sudah terbeli. Tak ada lagi kemandirian dan kedaulatan untuk mencetak generasi. Kurikulum akan diintervensi dan visi misi lembaga hanya akan jadi mimpi.
Sebenarnya kalau para pihak yang ingin menyalahkan Gontor itu mau bersikap fair, maka semestinya mereka sadar kalau Indonesia ini negara demokrasi. Jangan ada paksaan dan penyeragaman. Tidak perlu mewajibkan semua anak agar tetap di rumah, berbulan-bulan tidak sekolah.
Kalau ada pihak-pihak yang tidak siap dan tidak mau anak-anaknya bersekolah secara tatap muka ya silahkan saja. Itu hak pribadi. Tidak perlu melarang dan menghalangi wali-wali murid yang ingin anaknya tetap sekolah dan kembali ke pesantren. Apalagi Gontor sudah berusaha membuat protokol yang cukup ketat.
Sejak covid ini melanda dunia, banyak orang kehilangan akal sehat. Andai pun ada santri Gontor maupun pesantren atau sekolah yang lain terkena penyakit, mestinya kita doakan agar segera diberikan kesembuhan dan kesehatan. Bukan malah disalahkan dan dijadikan buliyan.
Sama seperti ketika ada warga di kampung kita dikabarkan positif korona, mestinya kita empati dan memberi dukungan baik materiil maupun moril, bukan malah diusir.
Sudahlah, tak perlu menggurui Gontor kalau tidak ingin kualat dunia akhirat! [Opini]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar