Jumat, 27 September 2019

Kisah Pilu Tragedi Wamena

Kisah Pilu Tragedi Wamena
"AYAM JANTAN ITU TELAH PERGI"

Mata Raulis basah dan sembab, wanita 65 tahun itu hanya duduk terpaku, suaminya, Kasdir juga membisu.

Sesekali menyeka air matanya yang terus meleleh, kabar duka yang diterimanya bak petir disiang bolong. Tiga anak laki-lakinya tewas saat tragedi kerusuhan di Wamena, Papua.

Safrianto, anak lelaki sulungnya, Jafriantoni dan Hendra Eka Putra. Dua adik Safrianto belakangan diajak merantau ke Wamena, karena Safrianto ekonominya mulai membaik.

Raulis tidak menyangka tulang punggung keluarga itu telah patah.

"Dialah yang saban bulan membantu keuangan saya, walau ia telah beristri dan memiliki anak, tapi pedulinya pada saya dan adik-adiknya, tak saya lupakan" ucap wanita baya itu terisak.

Kasdir terlihat berusaha tabah, namun tatapnya kosong menembus dinding, berharap jenazah ketiga buah hatinya segera sampai.

Raulis dengan terbata bercerita, sebelumnya ia bermimpi, 3 ekor ayam jantannya hilang tak kunjung pulang.

"Dimimpi itu, saya berusaha mencari, tapi tak jua bertemu, namun saya bersua dengan taman bunga yang begitu indah dan wangi" ujarnya.

23 September 2019 menjadi hari yang paling kelabu dalam hidupnya, karena berita kabar yang sampai kepadanya, bahwa tiga anak lelakinya tewas dengan tragis.

Rantau Wamena, Papua mengakhiri kisah heroik Safrianto beradik kakak. Mereka yang berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, wafat dalam amarah anak bangsa.

Ya, semakna dengan mimpi Mak Raulis, ayam jantan itu telah pergi, membawa kenangan indah tentang perjuangan anak kampung melepas belenggu nestapa.

Tapi Tuhan menggariskan takdir lain, manusia berencana tapi keputusan-Nya berlaku sebagai ketentuan Ilahi.

Selamat jalan Pahlawan Keluarga, dedikasi kalian menjadi iktibar bagi kami semua, bahwa hidup adalah perjuangan, soal kematian, Tuhan punya urusan.

Mak Raulis, Ayam Jantan Itu Telah Pergi ke Taman Surga yang dihiasi bunga-bunga yang indah dan semerbak, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, Husnul Khatimah.

(Terinspirasi berita covesia.com) dan sengaja saya simpan sebagai pengingat di suatu masa nanti.

Kamis, 26 September 2019

Anak STM itu luar biasa.

THE AVENGER TEAM STM

Kafil Yamin

Kehadirannya tak terduga. Di luar sangkaan siapa pun. Aksi sedang deadlock karena penjagaan ketat dan keberingasan polisi, sudah banyak mahasiswa yang tumbang, tetiba mereka muncul dari satu arah, berseragam sekolah, hampir semuanya menggendong tas punggung sekolah.

Para mahasiwa heran: “Adik-adik mau kemana?” Dengan enteng salah seorang mereka bilang: “Sekarang kakak mundur dulu, kami yang maju. Kakak yang orasi. Kami yang eksekusi.” Cerita selanjutnya, sudah banyak diketahui warganet. Saya ingin mengabadikan kehadiran mereka melalui beberapa simpulan:

#Kekompakan#. Mereka bergerak teratur. Taktis. Luar biasanya, seperti tanpa komando. Tanpa pemimpin. Hanya saling teriak di antara mereka. Ini menunjukkan kerja tim yang luar biasa. Sampai sekarang, orang tak tau yang mana pemimpinnya, koordinatornya, sehingga polisi sulit menundukkan mereka. Beda dengan kakak-kakaknya, yang terlihat ada pemimpin, jurubicara, yang gampang diundang, dinego, diarahkan. Para anggota DPR yang mereka geruduk pun dulunya aktifis mahasiswa.

#Kepercayaan diri#. Mereka maju ke hadapan polisi bukan saja dengan berani, tapi dengan riang. Jauh dari panik. Dengan dengan peralatan unik berupa sapu lidi dan batangan kayu, mereka mengintimidasi polisi. Tak lama barisan polisi itu panik, tercerai berai, dan dengan ringan mereka membajak kendaraan polisi, menggiringnya ke barisan mahasiwa, lalu rame-rame berfoto dengannya.

#Taktis-strategis#. Entah darimana kebisaan mereka menanggkal serangan polisi. Tapi jelas mereka ‘know what they are doing’. Memancing polisi menembakkan gas air mata, dan dengan refleks melemparnya balik ke arah polisi. Semprotan air mereka sambut seperti pesta, “gua mau air! Gua mau air! Sini tambah!” teriak mereka kepada polisi. Setelah beberapa lama polisi kehabisan air dan amuinisi, giliran mereka menyerang. Polisi mundur dan terkurung di apartemen Semanggi. Komandannya berbicara di airphone minta damai.

#Norma dan etika#. Beberapa warganet bilang mereka barbar dan dan liar. Itu penilaian kurang ajar. Mereka punya norma dan prinsip yang kuat. Ketika menggiring kendaraan polisi, seorang dari mereka teriak: “Jangan rusuh woi! Jangan rusuh!” Semua taat. Lalu membiarkan kendaraan itu lepas. DI satu sudut ‘pertempuran’, adzan magrib terdengar, poilisi masih menembakkan gas air mata, seorang mereka teriak: “Tahan dulu Woi! Ga belajar ngaji lo?”

#Mengalir lepas#. Dengan pikiran lepas mereka melihat dunia tak banyak batasan untuk melakukan aksi. 'Against the odds'. Mereka menerobos berbagai ketidakmungkinan. Seorang mereka bilang bantuan akan datang sebentar lagi, “Pake apa? Motor?” tanya kakak mahasiswa. “Kakak liat aja,” jawab si adik. Dan, gila, mereka datang dengan Transformer, kendaraan pengangkut kendaraan, yang tentu saja bisa mengangkut orang sekampung!

Bagaimana mereka bisa mendapatkan kendaraan itu, tak mungkin menyewa. Kebanyakan mereka bahkan tak punya ongkos. Mereka membajaknya. Sang sopir pasti tau risikonya kalau menolak. Tapi ini untuk perjuangan.

Mereka bergerak efektif, taktis, dan mengagumkan tanpa sokongan dana dan fasilitas dari siapapun. Malam harinya, seorang ibu memergoki sekelompok mereka sedang makan di warteg. Beberapa di antaranya siswa kelas I SMP. “Kalian ada ongkos pulang?” Yang mereka jawab dengan enteng: “Nunggu truk aja Bu.”

Si Ibu pemurah itu lantas membayari makan mereka dan memberi ongkos pulang.

Kadang kita perlu belajar dari mereka yang kita tak anggap penting.


Silakan klik link berikut sbg tambahan info: https://www.youtube.com/watch?v=TmEUiqan6w4

Sabtu, 14 September 2019

Learning Shutdown pada Anak (2)

MEWASPADAI LEARNING SHUTDOWN PADA ANAK (bag 2)

Sekitar dua tahun lalu, saat Alifa, putri kedua kami, masih belajar bahasa Inggris di sebuah lembaga, pernah ada kejadian yang bikin syok.
Saat itu, seperti biasa ayahnya mengantar jemput dia. Karena durasi les cuma 1,5 jam, biasanya sang ayah menunggui dia, tapi hari itu beda. Kebetulan, sang ayah harus bertemu seseorang di waktu Alifa les. Akhirnya, setelah mengantar Alifa, sang ayah pergi menyelesaikan urusannya. Jarak antara tempat les Alifa dengan tempat pertemuan sekitar 3 km. Dua tempat ini berada di lokasi ramai, di tepi jalan protokol.
Karena suatu hal, sang ayah terlambat 15 menit menjemput Alifa. Begitu ia sampai di tempat les, Alifa sudah tidak ada. Alifa tidak ada dimana pun. Kepanikan menjalari sang ayah, dan menjalari tempat kursusnya pula. Setelah bertanya kian kemari, dapat satu info. Ada yang melihat Alifa keluar tempat les, menyusuri jalan raya.

Sang ayah berusaha tenang. Ia berkendara pelan-pelan menyusuri jalan yang konon dijalani Alifa sepulang les. Setelah satu km, dia tidak menemukan Alifa, kepanikannya naik level, stressnya meningkat. Dia terus berkendara, 2 km terlewati. Alifa masih belum kelihatan. Menjelang tiga km lewat, di seberang jalan dia melihat seorang anak kecil, berjalan cepat, penuh percaya diri. Dia mendekat. Lututnya langsung gemetar. Itu Alifa. Berjalan penuh semangat menyanyikan lagu Maju Tak Gentar. Sang ayah menenangkan diri terlebih dahulu sebelum memanggil anaknya. Dia tidak mau terlihat panik.

"Alifa," panggil sang ayah. Alifa berhenti dan menoleh. Begitu melihat ayahnya, ia tampak gembira. Sang ayah langsung menyadari sesuatu, Alifa ternyata menyusulnya ke tempat pertemuannya. Mungkin Alifa berpikir sang ayah masih ada urusan, jadi supaya tidak merepotkan, dia pergi saja menemui ayahnya begitu les berakhir. Sang ayah langsung memeluknya erat-erat. Alih-alih menghakimi Alifa, sang ayah malah memuji.
"Alifa mau nyusul ayah ya? Wah hebat, Alifa ingat jalan ke sini ya, padahal baru sekali ayah ajak ke tempat tadi (tempat pertemuan ayahnya)".
Alifa mengangguk. Ia tampak bangga.
Lalu sang ayah bertanya bagaimana cara Alifa menyeberang jalan protokol yang sangat ramai, Alifa menjawab, bahwa ia menyeberang di zebra cross lampu merah, dan kendaraan berhenti saat ia lewat.
Sedikit pun sang ayah tidak menyinggung kecemasannya, rasa paniknya, atau menyesali tindakan Alifa. Sebaliknya, ia malah memberi Alifa hadiah atas keberaniannya.

HARGA DIRI ANAK

Saya percaya bahwa keberhasilan anak juga ditentukan oleh terpeliharanya harga diri anak. Anak-anak yang punya harga diri dan citra diri yang baik, akan punya penilaian diri yang baik. Ini akan melahirkan sikap positif dan rasa percaya diri. Mereka yang percaya diri umumnya mampu belajar dengan baik, karena mereka percaya mereka bisa. Stanley Coopersmith yang menulis buku tentang pola pengasuhan orang tua, menemukan, setidaknya ada tiga perilaku orang tua yang bisa mendorong munculnya harga diri anak-anak ini.

Pertama, penerimaan. Orang tua menerima anak-anaknya dengan penuh. Jika orang tua masih membanding-bandingkan, berarti mereka belum menerima. Apa yang disebut dengan menerima, adalah, menunjukkan dengan hati, sikap dan kata-kata, bahwa anak-anak dicintai dan dihargai. Orang tua memperhatikan kebutuhan tiap anak tanpa kecuali.

Kedua, memberi kemerdekaan tapi juga menetapkan batas. Orang tua tidak mengekang anak, anak boleh melakukan apapun yang mereka suka, selama mereka patuh pada rambu-rambu. Misal, anak boleh bermain games, tapi ia harus berprestasi Anak harus tahu bahwa hak datang bersama kewajiban. Penetapan yang jelas, akan mencegah lahirnya sikap manja, pengabaian, ingin menang sendiri.

Ketiga, ada penghargaan untuk setiap keunikan anak, untuk setiap perbuatan baik mereka. Orang tua tidak cepat menghakimi apalagi menghukumi anak. Penghakiman dan penghukuman, terutama tanpa cek dan ricek yang jelas, akan mengikis harga diri anak pelan-pelan. Jika ini terjadi, lama-lama kondisi learning shutdown datang padanya.
Itulah yang ditakutkan sang ayah, dalam kasus Alifa di atas. Sehingga alih-alih menghakimi tindakan Alifa, ia malah memuji keberaniannya.

Saya tidak tahu persis bagaimana teori mengatasi learning shutdown yang terjadi pada anak. Saya pikir, mungkin, jika ini terjadi, orang tua bisa memecahkannya dengan tiga teori yang disampaikan Coopersmith di atas. Ditambah satu menurut saya, yaitu, mengubah mindset orang tua.

Pada dasarnya, anak-anak sangat memperhatikan pendapat orang-orang di sekitarnya, karena itu, learning shutdown biasanya juga diawali dari orang-orang yang ia kenal. Orang tua, keluarga, guru, teman, dll. Boleh jadi, peran orang di luar keluarga banyak berperan dalam learning shutdown anak. Jika ini benar, maka kunci memecahkan masalah ini ada pada orang tua. Sebab, pada umumnya, anak sangat tergantung secara emosi pada orang tuanya.






Learning Shutdown pada Anak (1)

Dua tulisan yg saya ingin save and share buat kita sebagai ortu. Bagus dan menarik untuk dijadikan ilmu.


MEWASPADAI LEARNING SHUTDOWN PADA ANAK

Berapa kali anak-anak menerima komentar positif dan negatif dalam sehari? Pada tahun 1982 ada penelitian terhadap 100 anak. Penelitian itu mencatat berapa banyak komentar positif negatif yang mereka terima dalam satu hari. Jack Canfield, yang populer dengan buku-buku Chicken Soup for the Soul menemukan bahwa rata-rata anak menerima 75 komentar positif setiap hari. Banyak? Tunggu dulu. Bandingkan dengan komentar negatif yang mereka terima: 460! Itu artinya, rata-rata anak menerima komentar negatif enam kali lebih banyak dalam sehari.

Komentar negatif itu datang dalam berbagai bentuk, salah satunya umpan balik dari sebuah kegiatan. Jadi, apa yang disebut komentar negatif bukan sekadar 'dasar anak bodoh' atau 'kamu ini pemalas', tapi lebih jauh dari itu.

Mari kita ingat-ingat periode awal tumbuh kembang anak-anak. Saat mereka mulai belajar duduk, belajar merangkak, lalu berdiri, nyaris tak satu pun orang dewasa yang memberi umpan balik negatif pada mereka. Pada saat anak belajar jalan, misalnya, saat anak jatuh, orang dewasa justru memberi semangat, ekspresi wajah pun gembira, mendukung. Nada suara hangat dan riang. Anak-anak sangat sensitif terhadap suara dan perubahannya. Ketika mereka menangkap nada riang di dalamnya, dengan segera mereka mengetahui kalau mereka diterima, tak ada yang salah dengan jatuh. Maka mereka bangkit lagi dan belajar jalan kembali. Mereka berani melangkah, sebab, perasaan diterima ini menguatkan kepercayaan diri mereka. Dalam kata lain, penerimaan melahirkan self esteem atawa penilaian diri yang baik.

Begitu anak-anak besar, perlahan semua berubah. Ketika mereka berada di sebuah kelompok, taruhlah sekolah, mereka mulai meragukan kemampuan diri mereka sendiri, dan itu kadang dimulai dari insiden-insiden kecil yang tidak terperhatikan. Misal, ketika dia menjawab pertanyaan dan salah, lalu ditertawakan. Atau dia menggambar lalu mendapati nilainya tujuh sementara temannya sembilan. Atau dia mendapati, ketika dia melamun sejenak, mungkin karena bosan atau teringat suatu hal, lalu dia ditegur dan ekspresi wajah guru sangat negatif. Atau ketika dia mendengar ayah ibunya membanding-bandingkan dia dengan saudara atau teman-temannya. Atau ketika orang tua nggak merespon saat ia menunjukkan tumpukan batunya, yang menurut ia karya seni hebat. Hal-hal seperti inilah yang disebut umpan balik negatif.

Apa yang terjadi ketika anak mendapatkan lebih banyak umpan balik negatif? Yang terjadi adalah, mengutip Bobbi de Porter, learning shutdown, alias matinya semangat belajar. Umpan balik negatif memunculkan hal baru dalam diri anak-anak, namanya keraguan. Mereka mulai mempertanyakan kemampuan diri sendiri. Lalu mulai menganggap diri tidak capable. Saat kecil, saat mulai belajar jalan, mereka tidak mengenal konsep gagal, sebab tak satu pun orang dewasa di sekitar mereka yang meragukan kemampuan mereka. Namun, saat mereka mulai besar, konsep ini mulai masuk ke benak. Anggapan bahwa diri tidak mampu mulai menghantui. Belajar dianggap sebagai beban, rutinitas membosankan. Jangankan melakoninya, mendengar kata 'belajar' saja, anak-anak sudah ngeri. Karena itu nggak heran, ada anak-anak yang gembira saat guru tidak datang, sekolah libur, atau terjadi hal-hal yang membuat kegiatan belajar mengajar batal. Kenapa gembira? Sebab, tak ada beban yang harus mereka jalani saat itu.

Proses learning shutdown ini lama. Jadi, anak gak ujug-ujug langsung menganggap belajar sebagai beban. Ada peristiwa-peristiwa yang datangnya satu demi satu, mematikan keinginan belajar ini pelan-pelan. Saya dulu melihat ini terjadi pada putri pertama saya. Apa-apa yang dulu membuatnya tertarik, perlahan tidak menarik lagi buatnya. Akhirnya, tak ada pilihan lain bagi saya selain menariknya, mengembalikannya ke rumah. Dan pelan-pelan, ia kembali seperti semula. Mulai tertarik pada banyak hal, dan berkarya.

(bersambung)

Rabu, 11 September 2019

Aksi dan Reaksi dlm Kehidupan

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim...
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...                                         

Aksi dan Reaksi Kehidupan

Warna Kehidupan  - Sayangi orang lain, maka anda akan disayangi. Cintai orang lain, maka anda akan dicintai.

Kata Albert einsten, “Ada aksi, ada reaksi”. Ini tidak hanya berlaku untuk teori Fisika yang ditemukannnya. Ini tidak hanya bisa digunakan dalam hitungan angka-angka. Ya, hal ini juga berlaku untuk kehidupan keseharian kita. Jika kita baik, maka semesta akan baik kepada kita. Begitu juga sebaliknya.

Jadi, semua yang kita lakukan ibarat cahaya. Akan kembali terpantulkan kepada kita. Bahkan Allah pun telah berjanji, barang siapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun, maka akan ada balasannya. Dan begitu juga dengan ketidakbaikan yang kita lakukan, Allah juga telah menjanjikan balasannya.
Bahkan janji akan balasan kebaikan itu malah berlipat ganda akan diberikan oleh Allah kepada kita. Berlipat gandanya kebaikan yang dibalas Allah terhadap segala amal kita, maka ketidakbaikan kita juga akan dibalas berlipat ganda oleh Allah. Karena itu, merugilah kita sebagai manusia jika kita hanya terfokus melakukan hal yang tidak baik. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi setidaknya ketidakbaikan yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan itu dapat diimbangi dengan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan.

Manusia belajar dari kesalahan. Jika sudah mengetahui bahwa kita salah, jika masih punya hati, tentu kita akan berubah sedikit demi sedikit. Bisa saja jika kita mau. Bisa saja jika kita bertekad untuk berubah ke arah yang lebih baik. Tapi kembali, tergantung kepada niat.

Jika kita tanamkan niat itu dalam-dalam ke dada, Insya Allah apa yang kita inginkan pasti akan terwujud. Jika kita melekatkan niat baik itu serekat-rekatnya di dalam hati, insya Allah Dia akan memberikan kemudahan kepada kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Kita sering lupa, Ada sang Maha Segalanya yang selalu mengawasi kita. Sebagai manusia, sebagai umat Nabi Muhammad yang katanya paling lemah imannya, bisikan-bisikan setan itu terkadang membuat manusia itu terlena.

Ketika Masalah Menghimpitmu dari Semua Sisi

Sebuah tulisan yg sarat makna saya dapatkan pagi ini, saya simpan sebagai pengingat diri suatu saat nanti.

*****

*_Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh_*

*_Semangat Subuh_*

*Ketika Masalah Menghimpitmu dari Semua Sisi*

 – Alkisah seekor rusa betina sedang hamil tua.

Ketika mendekati detik-detik kelahirannya, rusa ini pergi ke suatu tempat yang jauh di sisi hutan yang berdekatan dengan sungai.

Tiba-tiba sesuatu yang tidak ia bayangkan terjadi !

Terdengar suara gemuruh dari langit dan tiba-tiba tampak kilat yang menyambar ke permukaan bumi. Hutan kering ini terbakar dahsyat karena percikan api dari petir tersebut.

Ketika rusa ini menoleh ke kiri, tampak seorang pemburu telah siap melesatkan anak panah ke arahnya.

Saat menoleh ke kanan, ia pun terkejut melihat seekor singa lapar yang siap menerkamnya.

Maka tiada pilihan bagi rusa ini selain :

1. Mati dimangsa singa.
2. Mati terkena panah.
3. Mati terbakar.
4. Atau mati tenggelam karena melompat ke sungai.

Bahaya mengancam dari berbagai penjuru dan tidak ada lagi kesempatan untuk berlari.

Lalu apa yang harus ia lakukan?

Bersedih dan merintih?

Menangis dan menjerit?

Atau ia harus berlari sementara kondisinya begitu lemah?

Atau menyerah pada keadaan?

Rusa pun pasrah. Dia hanya fokus untuk melahirkan bayinya.

Lalu apa yang terjadi?

Kilat-kilat yang menyambar mengganggu pandangan si pemburu. Akhirnya panah yang dilesatkan pun meleset dan mengenai si singa lapar. Singa malang itu mati seketika.

Tiba-tiba hujan datang begitu deras dan memadamkan kebakaran di hutan tersebut.

Rusa pun melahirkan dengan selamat !

Pelajaran penting dari kisah ini adalah :

Mungkin kau pernah mengalami kondisi seperti rusa ini…

Segala kesulitan menyerbumu dari segala arah. Masalah datang bertubi-tubi seakan tak memberimu kesempatan untuk bernafas lega.

Masalah di tempat bekerja, masalah di dalam rumah, masalah di jalan, masalah dengan anak-anak kita semuanya datang bersamaan.

Seakan kau tidak bisa lagi berbuat apa-apa..

Lalu apa yang harus dilakukan?

Jadilah seperti Rusa. Biarkan semuanya berjalan apa adanya.

Lakukan sesuatu yang mampu kau lakukan !

Lalu tinggalkan sisanya, karena disana ada Tuhan yang mengatur jalan kehidupanmu..

Sungguh ia lebih menyayangi hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu pada anaknya.

Jangan sampai engkau kehilangan harapan dan keimananmu !

Dia lah yang akan menyelesaikan semua masalahmu dan menyembuhkan luka-lukamu.

ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Dia (Allah) mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.Yunus:3)

Ingatlah selalu :

Jangan berkata, “Tuhan, aku memiliki masalah yang besar…”

Tapi katakan, “Hei masalah, aku memiliki Tuhan Yang Maha Besar !

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.”
(QS.Yusuf: 21)

Senin, 09 September 2019

KAPAN BERSYUKURNYA?

Sebuah tulisan dari efbi saya 4 th yang lalu.

KAPAN BERSYUKURNYA?


Henry Ward Beecher berkata, "Orang sombong jarang yang tahu bersyukur, sebab ia tidak pernah menganggap dirinya sudah mendapatkan apa yang sepantasnya ia peroleh." Penghambat utama rasa syukur adalah anggapan diri kita cukup baik sehingga pantas menerima pahala. Kalau kebaikan mengunjungi dirinya, dianggap sudah sepantasnya. Tak ada rasa syukur.

Parahnya, dalam kenyataan ia justru selalu merasa dirinya belum mendapatkan hal yang sepantasnya. Serba belum cukup; selalu kurang. Kapan bersyukurnya?

Kebaikan bukan ada pada kita, melainkan pada Tuhan. Bukan kita yang baik sehingga patut diganjar kebaikan dalam hidup ini. Kala Anda dituangi atau disirami kebaikan dalam hidup, itu karena Tuhan baik!

Periksalah dengan jujur betapa banyak perkara yang semestinya tak pantas kita peroleh, namun nyatanya kita dapatkan. Banyak hal dalam hidup sehari-hari yang datang sebagai karunia, bukan upah kebaikan kita. Semua tersedia dengan indah dan limpah karena Tuhan itu baik. Maka, jangan sombong dan merasa diri pantas, melainkan bersyukurlah! Bersyukur karena kebaikan-Nya!

Sadarkah Anda bahwa 11.000 liter udara kita hirup-hembus setiap hari secara gratis, tidak seperti asupan oksigen bagi pasien di rumah sakit? Cahaya mentari yang tak kita upayakan. Langit biru yang bukan buah karya kita. Kicau burung yang tak kita ciptakan. Uluran tangan sukarela. O, masih banyak lagi curahan anugerah-Nya yang layak kita syukuri! ({})

KESOMBONGAN MEMBUAT KITA SERBA MENUNTUT;
KERENDAHAN HATI MEMBUAT KITA SENANTIASA BERSYUKUR

Sabtu, 07 September 2019

Artikel GONTOR : Walikelas



WALI KELAS
(Tradisi Keteladanan di Pondok Modern Gontor)

_Oleh : Ustd. Nasrulloh Zarkasyi_

Mendengar kata wali kelas, dengan serta merta, pikiran kita akan mengarah pada sosok berusia sekitar 40-an tahun, atau lebih tua, sangar, atau berwibawa. Namun tidak demikian halnya di Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor. Di lembaga ini, wali kelas 1–6 berusia sekitar 21–25 tahun, hampir sebaya dengan muridnya, hanya terpaut usia sekitar 3–5 tahun. Akan tetapi jangan tanya peranan dan kiprahnya, sungguh menakjubkan. Berikut ceritanya.

Wali kelas di KMI PM Gontor dipilih oleh Direktur KMI berdasarkan rekam jejaknya sejak yang bersangkutan menempuh pendidikan di jenjang KMI hingga perjalanannya sebagai guru setamat KMI. Kecuali prestasi belajar, rekam jejak dalam hal akhlaq sangat diperhatikan, sebab, bagi Gontor, guru adalah nyawa pendidikan, yang harus menjadi teladan bagi siswanya, lahir maupun batin. Meskipun prestasi belajarnya rata-ratanya tidak terlalu menonjol, alias cukup, namun akhlaqnya baik, dia dapat terpilih menjadi wali kelas. Yang juga penting, prestasi pelajaran utamanya (Dirasah Islamiyyah dan Bahasa (Arab/Inggris) bagus.

Dalam tradisi Gontor, wali kelas 1 harus berasal dari guru, minimal, tahun kedua, dipilih berdasarkan kedewasaan secara keilmuan maupun psikologis. Sebelumnya, sosok itu, kemungkinan, sudah pernah menjadi wali kelas 2 atau 3. Sedangkan wali kelas 2–6 dipilih dari guru tahun ketiga sampai tahun keenam. Makin tinggi kelasnya makin tinggi pula tahun mengajar wali kelasnya. Untuk wali kelas 6, dipilih guru-guru tahun keempat atau atasnya, atau mereka yang sudah menyelesaikan sarjananya.

Yang juga menarik, wali kelas, yang juga mahasiswa, itu tidak mesti dipilih dari mahasiswa atau sarjana Fakultas Tarbiyah (Ilmu Pendidikan) Universitas Darussalam (perguruan tinggi milik PM Gontor), melainkan juga dari fakultas Syari‘ah, Usuluddin, Ekonomi Islam, atau program studi di lingkungan Fakultas Humaniora. Yang jelas, mereka telah memiliki pengalaman mengajar dan pengalaman menjadi wali kelas sebelumnya.

Mengapa pemilihan wali kelas di KMI Gontor tidak linier, tidak reguler? Gontor memang beda, memiliki tradisi tersendiri dalam hal ini, tradisi keteladanan. Meskipun masih muda, bidang studinya juga bukan dari lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan, mereka adalah orang-orang yang pernah dididik dengan cara serupa oleh wali kelasnya terdahulu. Maka, dalam mengemban amanah, wali kelas itu mengandalkan tradisi, apa yang dulu wali kelasnya lakukan untuk mendidik muridnya, begitu pula dia mendidik muridnya sekarang.

Sebelum mengemban amanah, para wali kelas itu telah mendapat pengarahan dari Direktur KMI. Selebihnya, seolah, mereka bekerja dengan insting. Masing-masing wali kelas dibekali buku besar, yang berisi segala variabel yang terkait dengan kelas yang dipimpinnya. Di antara isinya, daftar murid, daftar guru pengajar semua mata pelajaran, asal daerah murid, asal abjad kelas sebelumnya, dsb. Sebagai catatan, di Gontor diberlakukan gradasi kelas berdasarkan abjad. yakni kelas B, C, D, E, F, G, dst. Siswa yang duduk di kelas B adallah siswa yang terbaik prestasi belajar di kelas sebelumnya, diikuti abjad-abjad di bawahnya.

Hal lain yang dilakukan wali kelas adalah berdiskusi, bertukar pikiran dan pengalaman dengan wali kelas lainnya, baik yang satu tingkat kelas, maupun wali kelas di atasnya. Kecuali itu, untuk memotivasi murid, agar dekat, mudah dididik, dan diarahkan, berbagai macam cara dilakukan wali kelas. Ada yang membuat video klip tentang aktivitas kelasnya, sejak awal tahun hingga pertengahan tahun; ada yang mengajak muridnya berpuasa Senin-Kamis; melakukan tahajjud bersama, atau memanggil murid-murid tertentu ke kamarnya. Ya, mudahnya, di Gontor, guru dan murid sama-sama berasrama penuh, sehingga kapan saja wali kelas memanggil murid, atau murid ingin bertemu wali kelas, mudah dilakukan.

Yang rutin dan wajib dilakukan, setiap malam, usai shalat Isya’, setiap kelas mengadakan *“muwajjah”* (‘belajar malam bersama wali kelas’) di kelas-kelas yang telah ditentukan, berlangsung pukul 20.00–21.30 WIB. Saat itu, setiap murid boleh membawa buku apa saja yang ingin dipelajari, atau ditanyakan kepada wali kelasnya. Terkadang, di akhir waktu belajar malam, wali kelas memberikan motivasi (bahasa Gontornya *tasyji'*) kepada muridnya, tentang wawasan keilmuan, cerita tentang orang besar atau hebat (ilmuwan), atau yang lainnya. Masing-masing wali kelas memiliki cara tersendiri. Sekali lagi, mereka meniru apa yang pernah dilakukan oleh wali kelas mereka terdahulu. Menjelang ujian, belajar malam bisa berlangsung hingga pukul 23.00 WIB. Pada saat ujian lisan, wali kelas mengumpulkan muridnya, untuk belajar, di depan kamarnya. Namun tidak lagi ketika berlangsung ujian tulis.

Begitulah wali kelas di KMI Gontor, mengemban amanah berdasarkan pengalaman dan keteladanan wali kelas terdahulu. Wali kelas-wali kelas terdahulu juga meneladani wali kelas sebelumnya. Memang. di Gontor, keteladanan diturunkan dari generasi ke generasi, sejak  mula pertama KMI didirikan hingga sekarang. Itu pula yang membuat kualitas Gontor masih terjaga. Bagi penulis, yang mengagumkan, ada cita-cita mulia dari para guru di Gontor. Mereka ingin terpilih menjadi wali kelas 6, kelas tertinggi di KMI Gontor. Mungkin di kelas ini kesan akan jauh lebih mudah terbentuk, Begitu banyak aktivitas di kelas tertinggi ini yang membuat wali kelas sangat dekat dengan para muridnya, yakni membimbing pagelaran seni Panggung Gembira, aktivitas *Fathu al-Mu‘jam* (‘mencari kosa kata dalam kamus bahasa Arab), *Fathu al-Kutub* (‘belajar mengkaji kitab klasik’), dan *Tarbiyah Amaliyah*, yakni ujian praktik mengajar bagi seluruh siswa kelas 6. Semuanya memerlukan bimbingan yang intensif dari wali kelas. Kesan pun terbentuk, dan begitu lekat.

Kesan terhadap wali kelas, yang begitu mendalam, itu akan terbawa ke ujung dunia mana pun. Jika bertemu, meskipun sang murid sudah lebih dahulu melanglang buana, dengan gelar uang disandang lebih tinggi dari wali kelasnya, *rasa ta‘zhiem kepada wali kelas itu tidak luntur*. Kesan itu juga tidak hanya dirasakan oleh para murid, melainkan juga para wali murid. Suatu kali, pernah, penulis membaca di sebuah media sosial, seorang ibu memajang foto anaknya dengan wali kelasnya, dengan tambahan komentar, “Anakku bersama wali kelasnya yang hebat.” Mengharukan. Mungkin ibu itu merasakan, anaknya yang dulu kurang bernyali, menjadi bernyali setelah ditangani wali kelas tersebut, santun, berilmu, dan lebih taat kepada orangtua. Wallahu a’lam. Yang jelas, masih banyak mutiara terpendam di Gontor belum tertulis dan terpublikasikan. Saya ingin menulisnya.

Car Free Day 15/09/2024

 Car Free Day  Minggu 15 September 2024 Sabtu siang Akbar, sepupunya Imam datang ke rumah. Dari kampus Untirta Sindang Sari Serang Banten be...