Sabtu, 14 September 2019

Learning Shutdown pada Anak (2)

MEWASPADAI LEARNING SHUTDOWN PADA ANAK (bag 2)

Sekitar dua tahun lalu, saat Alifa, putri kedua kami, masih belajar bahasa Inggris di sebuah lembaga, pernah ada kejadian yang bikin syok.
Saat itu, seperti biasa ayahnya mengantar jemput dia. Karena durasi les cuma 1,5 jam, biasanya sang ayah menunggui dia, tapi hari itu beda. Kebetulan, sang ayah harus bertemu seseorang di waktu Alifa les. Akhirnya, setelah mengantar Alifa, sang ayah pergi menyelesaikan urusannya. Jarak antara tempat les Alifa dengan tempat pertemuan sekitar 3 km. Dua tempat ini berada di lokasi ramai, di tepi jalan protokol.
Karena suatu hal, sang ayah terlambat 15 menit menjemput Alifa. Begitu ia sampai di tempat les, Alifa sudah tidak ada. Alifa tidak ada dimana pun. Kepanikan menjalari sang ayah, dan menjalari tempat kursusnya pula. Setelah bertanya kian kemari, dapat satu info. Ada yang melihat Alifa keluar tempat les, menyusuri jalan raya.

Sang ayah berusaha tenang. Ia berkendara pelan-pelan menyusuri jalan yang konon dijalani Alifa sepulang les. Setelah satu km, dia tidak menemukan Alifa, kepanikannya naik level, stressnya meningkat. Dia terus berkendara, 2 km terlewati. Alifa masih belum kelihatan. Menjelang tiga km lewat, di seberang jalan dia melihat seorang anak kecil, berjalan cepat, penuh percaya diri. Dia mendekat. Lututnya langsung gemetar. Itu Alifa. Berjalan penuh semangat menyanyikan lagu Maju Tak Gentar. Sang ayah menenangkan diri terlebih dahulu sebelum memanggil anaknya. Dia tidak mau terlihat panik.

"Alifa," panggil sang ayah. Alifa berhenti dan menoleh. Begitu melihat ayahnya, ia tampak gembira. Sang ayah langsung menyadari sesuatu, Alifa ternyata menyusulnya ke tempat pertemuannya. Mungkin Alifa berpikir sang ayah masih ada urusan, jadi supaya tidak merepotkan, dia pergi saja menemui ayahnya begitu les berakhir. Sang ayah langsung memeluknya erat-erat. Alih-alih menghakimi Alifa, sang ayah malah memuji.
"Alifa mau nyusul ayah ya? Wah hebat, Alifa ingat jalan ke sini ya, padahal baru sekali ayah ajak ke tempat tadi (tempat pertemuan ayahnya)".
Alifa mengangguk. Ia tampak bangga.
Lalu sang ayah bertanya bagaimana cara Alifa menyeberang jalan protokol yang sangat ramai, Alifa menjawab, bahwa ia menyeberang di zebra cross lampu merah, dan kendaraan berhenti saat ia lewat.
Sedikit pun sang ayah tidak menyinggung kecemasannya, rasa paniknya, atau menyesali tindakan Alifa. Sebaliknya, ia malah memberi Alifa hadiah atas keberaniannya.

HARGA DIRI ANAK

Saya percaya bahwa keberhasilan anak juga ditentukan oleh terpeliharanya harga diri anak. Anak-anak yang punya harga diri dan citra diri yang baik, akan punya penilaian diri yang baik. Ini akan melahirkan sikap positif dan rasa percaya diri. Mereka yang percaya diri umumnya mampu belajar dengan baik, karena mereka percaya mereka bisa. Stanley Coopersmith yang menulis buku tentang pola pengasuhan orang tua, menemukan, setidaknya ada tiga perilaku orang tua yang bisa mendorong munculnya harga diri anak-anak ini.

Pertama, penerimaan. Orang tua menerima anak-anaknya dengan penuh. Jika orang tua masih membanding-bandingkan, berarti mereka belum menerima. Apa yang disebut dengan menerima, adalah, menunjukkan dengan hati, sikap dan kata-kata, bahwa anak-anak dicintai dan dihargai. Orang tua memperhatikan kebutuhan tiap anak tanpa kecuali.

Kedua, memberi kemerdekaan tapi juga menetapkan batas. Orang tua tidak mengekang anak, anak boleh melakukan apapun yang mereka suka, selama mereka patuh pada rambu-rambu. Misal, anak boleh bermain games, tapi ia harus berprestasi Anak harus tahu bahwa hak datang bersama kewajiban. Penetapan yang jelas, akan mencegah lahirnya sikap manja, pengabaian, ingin menang sendiri.

Ketiga, ada penghargaan untuk setiap keunikan anak, untuk setiap perbuatan baik mereka. Orang tua tidak cepat menghakimi apalagi menghukumi anak. Penghakiman dan penghukuman, terutama tanpa cek dan ricek yang jelas, akan mengikis harga diri anak pelan-pelan. Jika ini terjadi, lama-lama kondisi learning shutdown datang padanya.
Itulah yang ditakutkan sang ayah, dalam kasus Alifa di atas. Sehingga alih-alih menghakimi tindakan Alifa, ia malah memuji keberaniannya.

Saya tidak tahu persis bagaimana teori mengatasi learning shutdown yang terjadi pada anak. Saya pikir, mungkin, jika ini terjadi, orang tua bisa memecahkannya dengan tiga teori yang disampaikan Coopersmith di atas. Ditambah satu menurut saya, yaitu, mengubah mindset orang tua.

Pada dasarnya, anak-anak sangat memperhatikan pendapat orang-orang di sekitarnya, karena itu, learning shutdown biasanya juga diawali dari orang-orang yang ia kenal. Orang tua, keluarga, guru, teman, dll. Boleh jadi, peran orang di luar keluarga banyak berperan dalam learning shutdown anak. Jika ini benar, maka kunci memecahkan masalah ini ada pada orang tua. Sebab, pada umumnya, anak sangat tergantung secara emosi pada orang tuanya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Car Free Day 15/09/2024

 Car Free Day  Minggu 15 September 2024 Sabtu siang Akbar, sepupunya Imam datang ke rumah. Dari kampus Untirta Sindang Sari Serang Banten be...