JALAN SEPI BAPAK GAMBAR ANOM
Tomi Lebang
Rasa sedih dan kehilangan masih memenuhi pikiran saya tatkala mengetikkan tulisan ini. Baru kemarin, Kamis 27 Agustus pukul lima pagi, kami tersentak oleh kepergian Bapak Gambar Anom bin Makruf Harjosaputro, ayah mertua saya, ayah istri saya, eyang dari anak saya. Ia berpulang dalam damai dan tenang di sisi mama, Ibu Warnida Wahab, di rumah di Depok.
Dan kepergiannya yang damai dan tenang itu jugalah bagian dari karakternya semasa hidup: senantiasa memberi kemudahan dan tidak pernah merepotkan orang-orang di sekitarnya. Pada wajahnya masih terlihat tarikan senyum dan tangannya bersedekap sempurna -- sejak helaan napasnya yang terakhir. Bapak Gambar Anom seolah tak ingin membuat kami semua ikut merasakan pergulatannya menghadapi sakit dan sakaratul maut, tak hendak melihat istri dan anak-anaknya tersaruk-saruk untuk mengurusinya meski kami semua begitu ingin tetap menunaikan bakti kepadanya, tak mau terlalu lama membawa kemuraman pada orang-orang yang ditinggalkannya.
Maka, segala proses pemulasaran jenazah, dari memandikan jenazah sampai ke pemakaman, berlangsung dengan lancar dan cepat.
Kini Bapak Gambar Anom telah bersemayam di sebuah pemakaman di Jalan Jawa, Depok. Dan tinggallah kami anak-anaknya, dengan segala kenangan dan suri tauladan yang tertinggal oleh almarhum di setiap jejak kehidupannya.
Sudah tujuh belas tahun saya menjadi menantu pertama Bapak Gambar Anom, dan selama itu pula saya tak pernah merasa sebagai menantu, tapi sebagai anak pertama. Karena begitu pulalah Bapak Gambar memperlakukan saya.
Dan almarhum adalah seorang ayah, seorang lelaki, dan muslim, yang sungguh patut menjadi teladan. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya, senyum yang sungguh-sungguh tulus, karena tergambarkan bersama seluruh tarikan garis wajahnya. Dengannya, yang kita rasakan hanya kedamaian dan kelembutan, tiada kecemasan dan kekhawatiran, bahkan tak ada ketergesa-gesaan. Semuanya telah berjalan di atas takdirNya, melangkah di atas kehendakNya, dan mengayun dalam irama yang wajar dan alami seperti telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Di keseharian, Bapak Gambar Anom tak sekali pun berbicara dengan meninggikan suara, senantiasa berbicara dalam kehalusan, pilihan kata yang menjadi sebaik-baik kalimat, dan selalu mendahulukan kebaikan lawan bicara. Ia lebih banyak mendengar, ketimbang berbicara. Mendengar orang berbicara sikapnya takzim, seolah tak ingin kehilangan satu kabar baik pun, dan segera menanggapinya dengan kegembiraan bahkan lebih sering dengan ucapan syukur: Alhamdulillah.
Almarhum nyaris tanpa cela, kecuali satu hal di mata saya: ia nyaris kehilangan selera memenuhi segala kehendak pribadi yang bersifat duniawi. Kadang-kadang saya gregetan, mengapa Pak Gambar Anom tak pernah menginginkan sesuatu yang besar untuk dirinya? (Tapi tentu saja ini bukanlah cela. Sayalah yang kadang menganggapnya sebagai kekurangan karena saya masih memikirkan begitu banyak urusan duniawi.)
Selama 17 tahun menjadi bagian dari keluarga besar Bapak Gambar Anom, saya akhirnya tahu: almarhum memilih kebahagiaan dan kesenangan dalam pengertian yang lebih dalam, yang lebih ikhlas, lebih murni. Bukan kebahagiaan yang ditopang oleh segala atribut, bukan kesenangan yang diumbar dengan iringan tepuk tangan khalayak. Ia bahagia dan senang dalam ketenangan, tak perlu embel-embel jabatan, kekayaan, ketenaran.
Jika ia mau, apa yang tak bisa diraihnya? Hendak masuk ke kekuasaan, tak sedikit kawan akrabnya sedari muda adalah para petinggi dan penentu negeri ini. Di saat sahabat-sahabatnya itu, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, Abdul Malik Fajar, Ismet Abdullah, Abdullah Hehamahua, dll menjadi tokoh negeri, Bapak Gambar Anom memilih jalan sepi. Jalan yang tenang.
Dan saya mengetahuinya tanpa sengaja di awal tahun 2000-an, melalui air mata putri almarhum, Andari Karina Anom, calon istri saya ketika itu.
* * * * *
Alkisah, semasa Akbar Tanjung menjadi Ketua Umum Golkar (1998-2004), partai penguasa Orde Baru itu didera skandal, diduga menerima dana Bulog. Skandal ini digali dan diberitakan dalam beberapa edisi oleh majalah TEMPO di mana saya menjadi jurnalis.
Majalah ini bahkan menjadikan tokoh Golkar, Akbar Tandjung sebagai gambar sampul pada edisi 26 November 2001 dengan judul utama “Akbar, Permainan Apa Lagi”. Gambarnya adalah wajah Akbar Tandjung dengan hidung yang dipanjangkan seperti Pinokio -- tokoh dongeng anak yang jika berbohong hidungnya bertambah panjang.
Di setiap berita tentang Golkar itu, TEMPO selalu mendapatkan konfirmasi -- cenderung eksklusif -- dari sang ketua umum, Akbar Tanjung sendiri. Siapa jurnalis TEMPO yang ditugaskan untuk selalu mewawancarainya? Dia adalah Andari Karina Anom. Namanya pun selalu tertera di akhir artikel yang menyerang partai beringin itu sebagai reporter atau penulisnya.
Suatu siang, hari Senin seusai rapat perencanaan liputan, saya makan siang dengan Karin, di satu kantin murah di samping kantor di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Wajah Karin berselaput mendung. Muram. Kenapa? Saya bertanya.
Lalu ia pun menceritakan kegundahannya. Rupanya ia merasa gundah selalu ditugaskan mewawancarai Akbar Tanjung untuk berita yang sudah ia pastikan akan menghantam dengan keras dan lugas sang ketua umum partai besar itu. Tapi profesionalisme sebagai wartawan TEMPO adalah taruhannya, dan Karin tak pernah mau berpaling dari itu.
“Saya tidak enak sama Bapak?” katanya. Air matanya mengalir. Saya kaget dan bertanya. “Bapak siapa?”
“Bapak saya.” Jawaban ini membuat saya jadi bingung.
Karin pun bercerita kalau ayahnya, Bapak Gambar Anom adalah sahabat karib Akbar Tanjung sedari muda. Semasa Gambar Anom masih kuliah di UGM Yogyakarta dan Akbar Tanjung di UI Jakarta, keduanya sudah saling mengenal sebagai aktivis HMI. Keduanya bahkan masuk ke kepengurusan HMI yang dipimpin Nurcholis Madjid, sahabat Gambar Anom yang lain. Bahkan ketika Akbar Tanjung naik menjadi Ketua Umum PB HMI di periode 1971-1974, Gambar Anom lah yang menjadi Sekjen di organisasi mahasiswa Islam yang paling berpengaruh di Tanah Air saat itu. Persahabatan keduanya langgeng sampai puluhan tahun kemudian, termasuk antarkeluarga dan anak-anak mereka. Tidak heran jika Karin begitu mudah menghubungi Akbar Tanjung dan mewawancarainya, sekali pun keduanya tahu berita yang hendak diturunkan Majalah TEMPO itu adalah palu godam untuk Akbar Tanjung dan Golkar yang dipimpinnya.
Saya masih sempat bertanya. “Apa tanggapan Bapak tentang tugas Karin itu?”
Dan itulah yang membuat Karin sedih. “Bapak tahu tapi tidak berkomentar apa-apa. Bapak tidak ingin mengganggu pekerjaan saya.” Saya jadi ikut sedih dan memahami kegundahan calon istri saya ini.
Beberapa waktu kemudian, saya dan Karin, bahkan sempat bertemu Pak Akbar Tanjung yang sedang berjalan berdua dengan istrinya, Ibu Nina, di sebuah pusat perbelanjaan di SCBD, Jakarta. Keduanya bersalaman, akrab, berbincang cukup lama, dan saya dengar lebih banyak berkabar soal Pak Gambar Anom.
(Kemarin, Akbar Tanjung dkk datang mengantar kepergian sahabatnya, menabur kembang, seusai mengulang kisah mereka sedari muda, di pemakaman yang sepi di pinggiran kota Depok.)
* * * * *
Setahun kemudian, untuk pertama kalinya, saya diajak Karin datang ke kediaman orang tuanya di Depok. Kami datang di malam hari. Lama mendengar tentang Pak Gambar Anom sebelumnya, membuat jantung saya cukup berdegup saat telah menjejak ambang pintu rumah di Jalan Balinjo, Depok Utara itu.
Tapi segala kegugupan saya sirna begitu berhadapan langsung dengan Bapak Gambar Anom dengan segala senyum, keramahan, dan sambutan baik, yang saya terima.
Hanya berbilang bulan setelahnya, saya telah resmi menjadi bagian dari keluarga besar Bapak Gambor Anom, ketika saya dan Karin menikah pada tahun 2003.
Pernikahan kami menjadi ajang reuni Bapak Gambar Anom dan sahabat-sahabatnya. Bapak Abdul Malik Fajar (kala itu sebagai Menteri Pendidikan) tampil sebagai saksi nikah, Bapak Mar’ie Muhammad memberi tausiah pernikahan, dan hadir dengan riang Bapak Nurcholis Madjid, Bapak Akbar Tanjung, dll.
Beberapa bulan kemudian, kami sekeluarga diajak Bapak Gambar Anom ke kampung halamannya di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di kampung bernama Karaharjan itu, tempat keluarga besar alm. Makruf Harjosaptro bermukim, saya akhirnya menemukan akar dan muasal dari segala karakter baik dari mendiang Bapak Gambar Anom. Saya menginap di rumah Jawa dengan seperangkat gamelan yang masih terpasang di antara tiang-tiang joglo, di tengah keluarga besar Eyang Makruf yang begitu rukun, guyub, dan saling mengayomi.
Sungguh, saya bersyukur dan beruntung telah menjadi bagian dari keluarga besar ini, keluarga Bapak Gambar Anom.
Begitulah. Begitu banyak kisah yang sesungguhnya dapat saya ceritakan dari persentuhan saya dengan almarhum, tapi hanya satu jua kesimpulannya: almarhum Bapak Gambar Anom orang baik. Dan saya sangat kehilangan oleh kepergiannya. Saya merindukannya.
Selamat jalan Bapak.
TEBET, 28 Agustus 2020