Senin, 25 November 2019

Lintas Sumatra: Mudik Baralek akhir Juni (Part 2)

Setelah pulas tertidur, menjelang jam 04 kami dibangunkan oleh alarm. Bergesas mandi dan siap siap ke mesjid yang ada di seberang jalan wisma Anggeli ini. Mesjid yang agak ke dalam, berada di belakang deretan ruko.

Masih sempat melaksanakan sholat tahajud sebelum adzan subuh berkumandang. Mesjid yang baru selesai renovasi, sangat syantik dengan granit yang terpasang pada lantai dan bagian depannya. Jamaahnya lumayan banyak. Ada dua setengah shaf jamaah laki lakinya. Namun yang lebih bagus lagi adalah bacaan Imamnya. Indah nian. Serasa mendengar bacaannya Muzamil, alumni ITB yang ngetop belakangan ini.

Lepas subuh ternyata sudah menjelang jam 6 saja kami sampai di penginapan. Pengisi waktu menjelang jam 9 nanti, saya minta Nova untuk menelpon sahabat lamanya yang ada di Kota Lubuk Linggau ini. Sudah lama beliau minta kita singgah jika lewat kota ini, tetapi selalu saja belum ada kesempatan. Desember yang lalu kita lewat, beliau lagi jalan jalan ke Medan.

Alhamdulillah pagi ini, Allah pertemukan kami dengan Desi dan suaminya. Kami janjian di mesjid Agung Lubuk Linggau di pusat kota ini. Kebetulan saat ditelpon tadi mereka sedang jogging dari rumahnya ke arah mesjid ini.

Saya sangat senang sekali, karena selain bisa bertemu, saya berkesempatan jeprat jepret kamera di area mesjid ini. Mesjid yang sangat menawan. Nuansa birunya sangat indah, serasi dengan warna biru kaos Jalinsum yang saya gunakan.

Dari mesjid ini, Desi ikut mobil kami ke rumahnya, sementara suaminya masih melanjutkan berjalan kaki. Ternyata rumah mereka tak jauh, tak lebih 5 menit kami sudah sampai di rumah Desi ini.

Rumah yang bertingkat, tetapi tak bakalan kelihatan dr halaman depan. Hal ini disebabkan bagian belakang ada "Jurang Kecil" yang dimanfaatkan sebagai lantai dasar untuk tempat pengolahan mpek mpek Desi yang terkenal. Bahkan sudah dikirim ke tanah Jawa sesuai pesanan langganannya dan "marketting" dari saudara mereka sendiri. Ikan segar untuk pembuatan mpek mpeknya didatangkan dari Bengkulu. Disimpan di dalam freezer yang siap olah. Begitu juga dengan mpek mpek yang sudah jadi. Semuanya di dalam lemari dingin.

Alhamdulillah tak lama kami sampai, si Abang Desi pun sudah kembali. Naik Ojek dengan membawa aneka sarapan khas Lubuk Linggau buat kami santap pagi itu. Luar biasa juga ya koordinasi mereka berdua. Banyak cerita kami selama di meja makan ini. Seolah olah kami sudah sering bertemu, seperti saudara. Padahal baru pagi ini saya bertatap muka dengan suami Desi ini, dengan Desi sendiri mungkin ketika masih di kampus. Itupun saya sudah lupa dengan wajahnya. Mereka, angakatan Farmasi 94 ini adalah mantan praktikan saya dahulunya di Lab. Fisika Dasar.

Kami sarapan di sini. Saya memilih nasi goreng ala Lubuk Linggau ini. Uenak tenan, komplit nasi gorengnya. Ada telor, sayur, kacang plus dendengnya juga. Tentu tak lupa pula mpek mpek olahan tuan rumah dan kerupuk janggeknya. Dhifa hanya makan dengan mpek mpek nya saja sebagai sarapan pagi itu. Nggak bosan bosannya dia. Entah berapa buah yang telah pindah ke lambungnya. Memang uenak, mpek mpek UNI GITA, brand dagangnya seorang pejabat di dinas kesehatan kota Lubuk Linggau ini. Luar biasa, PNS yang tetap menjaga marwahnya sebagai orang Padang asli. Padang : PAndai DAgaNG.

Ada satu jam kami di sini, menjelang jam 8 pagi kami pun pamit pada tuan rumah. Alhamdulillah dibekali mpek mpek dan juga titipan buat tante Desi yang ada di Bukittinggi.

Dalam perjalanan balik ke penginapan iseng saja kita telpon pesanan mpek mpek kita semalam. Alhamdulillah ternyata sudah selesai, tinggal dibaluri tepung kanji supaya awet dan tidak lengket selama dalam perjalanan nanti. Segera kami sampai di penginapan, kami berberes secepatnya dan langsung ke resepsionis yang menerima kami tadi malam.

Iseng bertanya tentang keluarga si mas ini, saya tawari mau nggak menerima pakaian layak pakai. Kondisi masih bagus, sayang sudah tak terpakai lagi oleh anak anak. Alhamdulillah dengan senang hati dia menerimanya. Dan mengucapkan syukur atas pemberian ini. Semuanya untuk ponakan, adiknya yang masih dan emaknya baju gamis dari nova. Luar biasa.

Sempat berphoto bersama dengan beliau dan sempat cium tangan saya saking senangnya dengan pemberian kami ini. Semuanya terbungkus rapi dalam dua paket plastik loundry. Dia masih muda, baru lulus namun sudah kerja di sini sebelum tamat dr MTsN Lubuk Linggau ini. Dan yang sangat disayangkan, katanya kalo dinas malam agak berat melawan kantuk di saat subuh menjelang. Sholat kadang terlupakan, seperti pagi ini saat kami ke mesjid maupun balik, dia masih tertidur. Semoga kelak bs istiqomah ya mas, sholat subuhnya, bathin saya mendoakannya.

Selepas beres semuanya, kami pamit dan roda mobil perlahan bergerak ke warung makan tempat kami memesan mpek mpek buat buah tangan di kampung. Di sana sudah ditunggu sama pemiliknya. Masih ada empat paket pakaian layak pakai kami yang akhirnya kami serahkan ke bapak dan ibu pemilik warung ini. Karena masih banyak sanak keluarga mereka yang bisa memanfaatkannya. Kebetulan masih banyak anak kecilnya.

Alhamdulillah, ada kelegaan di hati bahwa apa yang kami bawa ini akhirnya tuntas diberikan di kota Lubuk Linggai ini.  Di pagi hari, sebagai pembuka pintu rezeki bagi kami dan bagi yang menerima tentu akan bermanfaat. Sebenarnya hal ini telah kami niatkan waktu mudik lebaran kemarin, tetapi berhubung mobil sudah terlalu penuh, akhirnya paket ini kami tinggalkan. Ternyata Allah punya cara lain bagaimana kami harus berbagi.

Mudik BERBAGI bagi sesama. Sebuah harapan yg terpenuhi.

Setelah Dhifa sarapan lagi dengan soto di tempat ibu ini, menjelang jam 09 kami pun melanjutkan perjalanan. Tentu tak lupa membayar pesanab oleh oleh kami, 200.000,- kepada mereka.

Ohya selain dagang di sini, ternyata suaminya dagang soto di terminal. Orang Jawa, Pujakesuma yang ulet, dibantu oleh anak anak mereka dalam menjalankan usaha ini. Sebuah potret keluarga yang gigih dalam berusaha. Anak anaknya tetap sekolah, namun tetap bisa membantu ekonomi keluarga.

Pagi yang cerah, udara yang tak terlalu panas kami jalan sepanjang lintasan lurus dari Lubuk Linggau ini. Saya senang di trek ini karena bisa memacu laju kendaraan bagaikan di jalur toll.

Seharusnya jalur seperti ini yang dikembangkan oleh pemerintah, apalagi kalo bisa dijadikan dua jalur seperti jalan Pantura di pulau Jawa. Selain akan memberi keamanan dalam berkendaraan karena searah, juga akan membangkitkan ekonomi masyarakat sepanjang jalan nasional ini. Pembangunan akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakan di sepanjang jalan. Pemukiman masyarakat, rumah makan, bengkel, dan ruko ruko perlahan lahan akan berdiri di sepanjang jalan ini. Multiplier effectnya akan jauh lebih terasa bagi masyarakat dibandingkan jalan toll yang hanya untuk segelintir orang saja.

Memacu kendaraan di trek lurus ini adalah suatu tantangan tersendiri bagi saya. Jujur saya lebih menyenangi jalan siang di trek ini, meskipun agak panas dan butuh AC yg lebih dibgin buat kenyamanan. Jalanan sepi, dan pagi itu tak banyak bus ataupun truk yang kami temui. Berbeda bila kita melintasinya di malam hari. Tetapi tetap kewaspadaan dijaga, karena silap sedikit saja bisa fatal akibatnya. Dan biasanya, beberapa kali melintasi trek ini dari Lubuk Linggau saya selalu sempatkan mandi buat jaga kesegaran diri, menghindari kantuk, dan rata rata kecepatan bisa dipacu di sekitaran 80-100 km/jam, bahkan sesekali diatas itu.

Setelah lebih 4.5 jam berkendaraan di siang yg terik itu kami istirahat di kota Bangko, menjelang jam setengah dua. Rehat disini sebentar menemani si bungsu Dhifa untuk makan nasi karena pagi tadi dia sarapan hanya dengan mpek mpek saja dan Nova pesan soto. Saya makan nasi goreng yg tadi sengaja dibeliin oleh Desi. Nasi goreng khas Lubuk Linggau memang beda. Ada potongan kecil dendeng, telur mata sapi, sayurannya, tempe dan kacang baladonya. Plus pesanan buat saya segelas teh telur, tak lupa tentunya.

Tak lama disini, perjalanan pun kami lanjutkan. Siang di hari Senin, 1 Juli ini kami nikmati dengan santai. Tak lagi mau memacu kendaraan di kisaran 100 km/jam karena matahari sudah mulai menyilaukan mata.

Rehat berikut nya kami lakukan di SPBU baru masuk kab sijunjung, masih di jalan lintas sumatra. Di sini kami melaksanakan sholat jamak zuhur dan ashar serta membeli "minyak" mobil. Ada kudapan sore itu yang dijojokan pedagang. Kami membeli onde onde dan kerupuk jengkol balado kesukaan saya. Kudapan ini menemani perjalanan sore ini hingga menjelang malam memasuki Lintau Kabupaten Tanah Datar.

Udara mulai terasa dingin sepanjang perjalanan malam itu di kota Batusangkar yang kami lewati. Adzan isya terdengar selepas pusat kota menuju Bukittinggi. Jalan mulai menanjak, lurus dan dingin makin terasa. Berbelok ke arah baso, perjalanan mulai berkelok kelok. Tanjakan,turunan, dan tikungan tajam menbuat mata makin awas. Sepinya jalan kian terasa. Hanya lampu mobil jadi penerang.  Tak banyak lagi kendaraan yang lewat.

Simpang Baso terlihat dari kejauahan membuat hati makin tak sabar sampai ditujuan. Berbelok ke kiri, jalanan terasa ramai dari kedua arah. Simpang Tanjuang Alam serasa dekat. Hhhmmmm, kuliner yang ada di sini terbayang sudah. Tempat alternatif selain down town Bukittinggi buat kuliner ada di sini. Semuanya ada, hargapun wajar, kalo tak mau dibilang lebih murah. Heheee

Akhirnya menjelang lampu merah tanjuang Alam, mobil parkir indah sejenak di sebelah kiri jalan. Sengaja menahan selera selama perjalanan tadi. Suasana dingin di kota ini tentu sangat nikmat bila perut diisi dengan yang hangat hangat. Dua porsi soto kami pesan, plus sate dan teh telur buat sang driver.

Setelah pesanan datang, takjub kami akan porsi sotonyo yang luar biasa besar. Tak seperti yang kami bayangkan. Ini seporsi bisa buat makan berdua sebenarnya. Alhamdulillah ternyata semuanya habis tanpa tersisa karena suasana dingin dan lapar yg tertunda.

Nova pun mengabari mama bahwa kami sudah sampai di Bukittinggi dan memesan seporsi soto buat mama. Sengaja mengabari di sini, agar mama tak perlu repot repot menyiapkan hidangan makan malam. Walau sebenarnya kami tahu bahwa mama sudah pasti punya stok makanan buat anak cucunya. Tetapi menghidangkan di malam seperti tentu bukan waktunya.

Lebih kurang jam 9 malam kami sudah sampai di rumah, di Kapau. Dingin malam makin terasa menusuk tulang. Tetapi bertemu dengan mama dan selamat dalam perjalanan hingga sampai di tujuan seperti ini, dingin tak lagi dirasa. Kehangatan seolah olah menjalar.

Dhifa sangatlah girangnya. Bertemu lagi dengan nenek yang didambakannya, di hari ulang tahun Mama yang ke 66.

#Kapau, 1 Juli 2019.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...