Sabtu, 29 Mei 2021

Teh Talua Tapai ala Jeje

 Teh Talua Tapai 


Alhamdulillah, bada maghrib tadi disempatkan juga membuat teh telor tapai dengan bahan yang ada di rumah. Suasana hujan dan dingin sangat mendukung pelepas "taragak" akan minuman khas ranah minang ini. 


Ada telor ayam dan tapai sudah cukup untuk memulainya. Kebetulan beberapa hari yang lalu sudah membuat juga teh talua dan kopi talua juga, tetapi rasanya belum memuaskan. Biasa biasa saja rasanya. Hehehee.


Satu kuning telor dimasukan ke dalam gelas, ditambahin satu setengah sendok makan gula pasir, kemudian saya mixer beberapa saat hingga warnanya berubah dari kuning menjadi agak putih. Itu sudah cukup menjadi tanda bahwa adonan tersebut sudah mengembang. 


Satu sendok makan lebih sedikit, tapai yang warnanya kuning dan manis itu saya ditambahkan ke dalam adonan gula dan kuning telor tadi, kemudian dikocok lagi dengan mixer. Setelah dirasa cukup homogen, teksturnya sudah kelihatan halus, mixer saya matikan. Sisa yang ada di mixer, saya colek sedikit dengan tangan dan saya icip, wow rasanya mantap banget. Akhirnya yang ada di mixer tersebut bersih. Licin. 

Lamak bana. Ini saja sudah membuat saya puas. 


Seduhan teh tubruk dari jawa, yang kami lupa merknya, yang telah mendidih saya tuangkan ke dalam gelas yang berisi adonan tadi. Meskipun warna nggak begitu pekat, tak apalah, karena memang itu yang ada di rumah saat ini, sudah lebih dari cukup. Lagian ini baru "trial", masih uji coba. 


Setelah teh mendidih tadi memenuhi gelas, saya videokan bagaimana proses yang terjadi di dalam gelas. Setelah itu baru saya aduk, biar merata panas yang ada di dalamnya, sehingga tidak ada gumpalan gumpalan di dinding gelas. 

https://youtube.com/shorts/mlS157mdssM?feature=share

Rasa penasaran dengan "layer" atau lenggek teh talua yang selama ini saya lihat, akhirnya saya tambahkan juga susu kental manis, sedikit saja. Beda dengan yang ada di kadai teh talua yang biasa saya nikmati,  biasanya ketebalan SKM ini sekitar 1 - 2 cm. Namun yang inj, SKM yang saya tambahkan tak sampai segitu karena saya yakin dari gula dan manisnya tapai sudah mencukupi. 


Dari tiap adukan teh talua tapai ini, saya nikmati aroma yang keluar. Daaaaaan ternyata aroma tapainya menyeruak memenuhi rongga rongga hidung saya, menggetarkan nafsu saya untuk segera menikmati teguk demi teguk.


Saya hirup perlahan bagian teratas dari teh talua tapai ini. Busanya. Begitu nikmat, begitu halus dan begitu lamaknya. Asli top banget. Bukan saya promosi ya. Ini benar benar suatu kenikmatan yang ada, nyata. Bukan polesan cerita, apalagi pencitraan. Sabana lamak, man.   



Saya aduk lagi, saya nikmati dengan meneguk teh talua ini bagian tengahnya. Dan ternyata sama. Nikmatnya meskipun masih panas. Perlahan saya meminumnya. Menikmati tiap rasa yang ada, setiap teguknya. 


Setengah gelas habis dan ternyata adzan isya berkumandang. Saya segera berwudhu dan meninggalkan rumah sejenak menuju mesjid.


Lepas sholat, sampai di rumah, ketika pintu dibuka mata saya tertuju pada teh talua tapai yang tersisa. Saya perhatikan sekilas, warnanya tetap homogen. Tidak ada perbedaan warna ataupun "layer"nya. Saya puas. 


Lepas menarok sajadah dan kopiah, saya nikmati lagi teh talua tapai ini, sambil mendengar obrolan sang Bundo dengan anak gadisnya yang ada di Pekanbaru. Sekali kali saya ikut nimbrung ataupun menimpali pembicaraan mereka, melalui speaker HP yang sengaja diperdengarkan oleh Nova. 



Alhamdulillah, sekali ini saya puas sekali dengan teh talua tapai olahan tangan sendiri. Ada kebanggaan tersendiri dan itu sangat berbeda dengan teh talua dan kopi talua, beberapa hari lalu yang saya buat. Formulasinya dapat, cara membuatnya masih ingat. 


Dan untuk yang satu ini sudah terbayang bagi saya "Kadai Teh Talau Jeje" di tanah rantau ini. :) :) 


Parung Serab Ciledug, 19/05/2021

20.50 WIB

Kamis, 27 Mei 2021

Back to Gontor, Back to Reality

Alhamdulillah, lepas sudah kebersamaan 50 hari bersama anak bujang kami pada 26 Mai nan lalu. Suatu kebersamaan yang sarat makna dalam liburan akhir tahun ajaran di Gontor. 


Abang Imam siap kembali ke pondok setelah "recharging energy" selama liburan kali ini. Segala cerita di pondok dia curahkan. Kebanggaan dan kedekatan dengan ustadz dia sampaikan. Kebersamaan dan keceriaan di pondok kami dengarkan. Bahkan keinginan dia menjadi mudabbir dan ketua rayon kelak, dia utarakan. 


Bersama dengan adiknya Dhifa tinggal jadi cerita. Abang Imam sekarang ini jauh lebih sabar dibandingkan tahun lalu, saat dimana adiknya selalu saja usil dan cari perhatian dari abangnya ini. Tahun ini walau tanpa kakaknya, Fadhilah Azzahra yang sedang pengabdian di Gontor Putri 7 Pekanbaru tak mengurangi kebersamaan mereka. Apalagi di saat Ramadhan, saat kakaknya bebas menggunakan HP komunikasi mereka lancar. Mereka bisa video call. 


Kakak yang sangat menganyomi adek adeknya saat ini. Suka mendengarkan info tentang Imam dan Dhifa dari bundanya, yang kemudian ternyata dari info ini memberikan nasehat dan saran buat mereka berdua. Suatu komunitas yang berbeda di antara mereka sebelumnya. Arahan kakaknya menjadi acuan. Didengarkan dengan baik.


"Im, baik baik ya di Pondok", pesan kakak sebelum kami sampai di masjid Al Azhom, adalah pesan yang samar samar saya dengar.


#####


Kembali ke Gontor Ponorogo dalam kondisi sekarang ini agak berbeda rasanya bagi Imam. Meskipun tahun lalu juga masih dalam kondisi yang sama. Sama sama dalam kondisi pandemi Covid 19. Namun ada rasa yang berbeda dia rasakan.


Saya merasakan aura ini disebabkan ini adalah masa transisi dia yang sebenarnya menuju dewasa. Dari usia SMP menuju SMA, di saat saya dahulu. Banyak hal yang secara fisik terlihat nyata. Jakunnya sudah jelas terlihat. Ketenangan dalam bersikap, bertutur dan berfikir sudah mulai tertata. Apalagi dalam sikap tubuh nya yang tegap, baik ketika duduk maupun berdiri. Selintas sudah mulai tertarik dengan "muslimah sejati" dalam bahan obrolannya dengan sang bunda, meski kadang kadang ada juga rasa malu malunya kalo saya ikut menimpali obrolan tersebut. 



Tetapi tentang impian dan keinginannya menjadi ustadz pengabdian di Gontor nanti, suatu cerita yang berbeda. Sangat dewasa, menurut saya. Asa untuk tetap melanjutkan studi ke Islamic University of Madinah adalah target utamanya. Entah itu nanti untuk strata S1 maupun S2nya. Ini sesuatu yang luar biasa. Biarlah tulisan ini akan menjadi saksi perjalanannya kelak, di tahun tahun yang akan datang.


#####


Dalam kondisi pandemi saat ini, Gontor adalah salah satu tempat pendidikan terbaik bagi anak anak kami. Gontor adalah segalanya bagi tumbuh kembang mereka secara alami.


Di Gontor lah mereka bisa belajar dengan tatap muka secara langsung dengan para guru mereka, ustdaz - ustadz mereka. Mereka mendapatkan ilmu langsung secara keseluruhan, baik di ruang kelas ataupun di luarnya. Sedari bangun tidur hingga tidur lagi. Mereka menulis dan membaca di ruang kelas maupun kamar mereka. Mereka menghapal dimana mereka suka. Di sana mereka bisa belajar sendiri ataupun belajar kelompok. Inilah realita pendidikan sejatinya bagi mereka, di usia transisi mereka dari anak anak menuju dewasa.



Di Gontor mereka bisa bermain bersama dan olah raga bersama. Dengan teman teman yang sangat banyak. Bermain dan olahraga  bagi mereka bisa dengan yang sebaya, dengan adik kelasnya ataupun kakak kelasnya. Dan jumlah mereka di sini bisa ribuan orang. Jumlah yang sangat tak mungkin bisa ditemukan di sekolah umum lainnya. Tentu dalam suasana seperti ini, secara fisik dan kejiwaan mereka tumbuh maksimal. Mereka paham bagaimana etika bergaul  dan beradaptasi dengan teman sebaya, dengan yang lebih tua dan yang lebih muda. Dan yang paling penting bagaimana bisa membangun kebersamaan dalam segala lapisan usia. Inilah kelak yang akan menjadi ilmu dasar bagi mereka ketika terjun di tengah masyarakat. 


Di Gontor ini banyak klub yang bisa mereka pilih, seperti sepakbola, futsal, basket, beladiri, kaligrafi dsb. Mereka boleh memilih lebih dari satu klub jika mereka mau, sesuai bakat dan keinginan mereka. Tentu dengan semakin banyaknya klub yang dipilih, mereka akan semakin disiplin dalam mengatur waktu. Semakin banyak klub, semakin disiplin dalam mengatur waktu.


Dan saya sangat bangga bahwa Imam telah ikut dalam salah club yang memang saya sarankan sejak dia di terima di Gontor. Dia ikut dalam klub beladiri Darussalam. Saya tekankan pentingnya ilmu beladiri bagi seorang ustadz di masa yang akan datang. Setidaknya tak ada lagi "orang gila" yang macam macam dengan ustadz, seperti banyak kejadian yang ada saat ini. Dan hanya di rezim ini pula "orang gila" yang paling banyak menyerang para ustadz dan alim ulama. Semoga Imam kelak punya kemampuan untuk menjaga diri dan keluarga dari "orang gila", itu saja sudah cukup.


Di Gontor mereka bebas dari ketergantungan handphone, walau tidak kudet juga dalam bidang IT. Dan kondisi saat ini berat bagi orangtua untuk mendisiplinkan anak anaknya dalam menggunakan HP. Berat melepasakan anak dari pengaruh HP, dari kecanduan games maupun dari kecanduan animasi, film yang nggak jelas manfaatnya. Di gontor mereka sibuk dengan buku bukunya, kitab kitab yang wajib mereka baca. Membaca rutin al Quran dan hadist hadist setiap harinya. Uang pulsa biarlah menjadi uang jajan bagi mereka di sana.


Di Gontor mereka berkumpul dari segala pelosok daerah yang ada di nusantara ini. Mereka mengenal karakter masing masing daerah melalui daerah asal teman mereka. Melalui konsulat ataupun rayon mereka yang ada di Gontor. Tentu mereka akan hapal nama nama propinsi yang ada di NKRI ini. Mereka tahu nama nama ibukota Propinsi, bahkan juga DATI II yang ada. Di Gontor mereka akan mengenal Indonesia secara utuh.


#####


Di Gontor adalah realita kita sejatinya bagi mereka. Bagi mereka yang sedang belajar ilmu agama dan ilmu dunia, yang juga belajar tentang tumpah darah Indonesia. Semuanya akan menjadi bekal hidup kelak di kemudian hari. 


Ukhuwah mereka sebagai anak bangsa akan terbentuk dengan kuatnya. Kemampuan bahasa Arab dan English dalam keseharian mereka di pondok akan menjadi jembatan untuk mengembara di seluruh dunia di suatu masa nantinya.


So di Gontor adalah realitanya kehidupan kita. Segala persoalan akan selesai di jalan yang ALLAH sukai, dengan asas musyawarah mufakat, bukan dengan pencitraan ataupun kebohongan.


Bintaro, 27/05/2021

2.50 WIB

Senin, 24 Mei 2021

Gontor Mempersaudarakan Kami

 Bersama sebagian tim dansos kemarin sore kami hadir lagi di Ciputat Tangerang Selatan. Bersilaturahim dan berbagi demi santri kami, santri Gontor Tangerang Raya. 



Kami dijamu oleh keluarga bu Lisnawati, anak dan minantunya. Ada nuansa keakraban yang terjalin di antara kami. Gontor tak hanya mempersaudarakan santri santrinya, tetapi juga mempersaudarakan kami para walisantrinya. Gontor mendidik santri tanpa memandang status dan jabatan orangtua atau walisantri nya, begitu juga dengan kami. Kebersamaan kami apa adanya, saling membantu sebisanya, tak pandang status. 


Ada boss yang bisa santuy saja memanggul air mineral ataupun apa saja. Ada "bussiness women" yang juga santuy saja dibonceng naik motor, padahal dia kemana mana selalu dengan kendaraan roda empatnya. Bagi kami semuanya sama saja, yang penting bisa berbuat bagi sesama.


Selepas dari Ciputat menjelang maghrib kami sengaja ke Warung Borowali, milik almarhum pak de Kohar. Beliau adalah salah satu inisiator terbentuknya TIM DANSOS Tangerang Raya ini. Usaha beliau dilanjutkan oleh mbak Rifa, istri beliau. Selain lepas kangen dengan masakan di warung ini, tempat kami sering nongkrong sebelum Covid para walisantri Tangerang Raya, kami juga ingin memberi kekuatan bagi bu Rifa dan anaknya Rara yang akan menjadi capel Gontor tahun ini. 



InsyaALLAH siang ini Rara dan seluruh calon pelajar Gontor dari Tangerang Raya akan berangkat dari mesjid Al Azhom di bawah bimbingan ustad/ustadzah IKPM Tangerang Raya. Semoga dalam perjalanan nanti mereka bisa sampai di tujuan Ngawi dan Ponorogo dengan selamat, sehat dan penuh semangat dalam memperjuangkan kesempatan untuk menjadi santri dan alumni Gontor kelak.


Lepas kangen dan makan malam dari sini kami masih berlanjut ke rumahnya Om Susilo sesuai dengan janji bu Rahayu sebelumnya. Belum lepas rasa kenyang yang ada, sudah harus menikmati lagi seporsi baso khasnya Om Susilo ini. Om Susilo juga punya anak di Gontor Putri 1 kelas 4 saat ini. 



Sebuah perjalanan yang sebenarnya capek juga, tetapi makna akan kebersamaan dan silaturahim yang terjalin di antara kami sangat sangat meminimalisir segala capek yang ada. InsyaALLAH lelah kami Lillah.


Jam sembilan malam akhirnya semua bubar, kembali ke rumahnya masing masing. InsyaALLAH hal hal begini akan indah untuk dikenang ketika anak anak sudah dewasa kelak, ketika mereka menjadi alumni Gontor ataupun ketika mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kelak, di suatu waktu kelak.


Gontor mempersaudarakan, itu terbukti bagi kami.


Tangerang, 23 May 2021

Kamis, 13 Mei 2021

Jajanan Mereka Itu Buku...

Minggu siang, 9 Mai 2021, anak anak minta diantarin ke Bintaro Trade Centre. Dengan satu tujuan, hanya untuk membeli buku buku yang mereka minati untuk memenuhi koleksi mereka. Sudah beberapa hari minta diantarin, tetapi karena kesibukan #dapurbundonova keinginan ini selalu tertunda. Tertunda kadang membuat si bungsu selalu bad mood. Dia selalu nggak sabaran kalo sudah tercetua keinginan untuk membeli buku ini. 


Ada duit yang sudah dia kumpulkan sejak seminggu yang lalu dari saweran abangnya, "palakan halus" ayah dan bundanya dan itu terkumpul Rp. 400.000,-. Uang yang dia pegang itu, yang selalu mengingatkan dia untuk segera ke BTC. Macam macam cara dia bujuk bundanya selama seminggu ini.


Dan menjelang siang ini, setelah selesai masak buat pengiriman sore, segera kami meluncur ke BTC dengan dua motor. Panas yang tak terlalu terik, kami nikmati dalam perjalanan yang tak lebih 5 km jaraknya dari rumah. Hanya sekitar 10-an menit kami sampai.


Saya dan Imam mampir sebentar di BTC, sementara Bunda dan Dhifa langsung ke fresh market Bintaro tempat bude yang menjual buku buku pesanan mereka. Memang sebelumnya sudah ada komunikasi dengan bude tsb tentang buku buku apa yang mereka inginkan. 


Saya dan Imam mampir di "lapak urang awak" yang menjual celana dan baju dengan harga miring. Alhamdulillah buat Imam dapat satu celana hitam buat balik ke pondok nanti. Saya tawarkan dua buah, tetapi dia teguh pendirian cukup hanya satu celana saja. Saya tak bisa lagi memaksa. Saya percaya, dia membeli sesuai dengan kebutuhannya, bukan karena keinginannya. 


Setelah selesai, saya baru menyusul ke Freshmarket menemui sang Bunda dan Dhifa. Di sana Dhifa menambah koleksi buku WHY-nya sebanyak 4 buah, yang harganya Rp. 70.000,- per buku. Dan jika dibandingkan harga di Gramedia sangat signifikan selisihnya. Makanya kami sering ke sini belanja bukunya. 


Setelah menerima empat buah buku tersebut, semua uang ditangannya diserahkan ke bude tersebut, tanpa meminta pendapat kepada sang bundo. Bude yang menerima, tentu kaget, karena uangnya masih banyak lebihannya. 


Ketika bude bilang uangnya banyak banget, Dhifa hanya bilang, "yang penting aku dah dapat bukunya, biar bunda aja yang dapat kembaliannya". Bunda dan Bude hanya tersenyum saja. Anak kami ini memang nggak ngerti duit. Yang ada hanya disimpan saja, tapi belum mengerti tentang harga dan transaksi dalam jual beli. :) 


Dan bersyukur juga bude ini masih ingat dengan Imam, anak kami yang sudah lama tak bertemu. Dulu sering ketemu bude ini, tetapi sejak di Gontor tentu jarang ke sini. Paling sekali setahun ketika libur saja. 


Tak lama dari sini, kami balik ke BTC dan mampir lagi di counter buku bude satunya lagi, yang ditunggui oleh misuanya. Di sini, giliran Imam yang mencari buku buat dirinya. Dia hampir sama seleranya dengan kakaknya. Penggemar buku Tere Liye. Dia sudah beralih ke novel. 



Dan di sini dia memilih empat buah buku Tere Liye, dan dari dia saya tahu bahwa masih banyak koleksi yang belum dia baca. Koleksi kakaknya yang ada di rumah, sudah dibacanya. Bersyukur juga buku buat Imam ini kami belikan sudah diakhir Ramadhan, di saat dia sudah hampir menyelesaikan targetnya khataman al quran untuk ke dua kalinya.


Alhamdulillah, tak lama berselang kami segera pulang, dan di rumah hingga hari ini buku buku ini masih mereka pegang, mereka baca secara bergantian. Selang seling. 


Dengan adanya bacaan ini, durasi mereka memegang HP menjadi berkurang, tak ada lagi rebutan HP.  Yang ada hanya pergantian buku yang mereka baca secara damai. 



Inilah jajajan anak anak kami yang menjadi tradisi selama ini. Merata di antara mereka bertiga. Bahkan mereka lebih memilih jajanan buku ketimbang makan di restoran. Buku buku ini menjadi makanan mereka, makanan otak dan spritual mereka. 


Semoga kelak tradisi ini bisa mereka turunkan ke anak anak mereka kelak. Tradisi Membaca ini semoga berkembang kelak menjadi Tradisi Menulis. Dan saya yakin itu. 


Bagaimana menurut sahabat semuanya?

Rabu, 05 Mei 2021

One Story, Two Perspectives

Seorang penulis buku terkenal duduk di ruang kerjanya... dia mengambil penanya... dan mulai menulis :


"Tahun lalu... saya harus dioperasi untuk mengeluarkan batu empedu. Saya harus terbaring cukup lama di ranjang....


Di tahun yang sama, saya berusia 60 tahun dan memasuki usia pensiun..., keluar dari pekerjaan di perusahaan yang begitu saya senangi... saya harus tinggalkan pekerjaan yang sudah saya tekuni selama 35 tahun...


Di tahun itu juga saya ditinggalkan ayah yang tercinta...


Kemudian... masih di tahun yang sama, anak saya gagal di ujian akhir kedokteran, karena kecelakaan mobil. Biaya bengkel akibat kerusakan mobil adalah puncak kesialan di tahun lalu..."


Di bagian akhir dia menulis:


"Sungguh... tahun yang sangat buruk!"


Istri sang penulis masuk ke ruangan dan mendapati suaminya yang sedang sedih dan termenung... Dari belakang, sang istri melihat tulisan sang suami. Perlahan-lahan ia mundur dan keluar dari ruangan...


15 menit kemudian dia masuk lagi dan meletakkan sebuah kertas berisi tulisan sebagai berikut :


"Tahun lalu... akhirnya suami saya berhasil menyingkirkan kantong empedunya yang selama bertahun-tahun membuat perutnya sakit...


Di tahun itu juga... saya bersyukur, suami bisa pensiun dengan kondisi sehat dan bahagia. Saya bersyukur kepada TUHAN, dia sudah diberikan kesempatan berkarya dan berpenghasilan selama 35 tahun untuk menghidupi keluarga kami


Sekarang, suami saya bisa menggunakan waktunya lebih banyak untuk menulis, yang merupakan hobinya sejak dulu...


Pada tahun yang sama..., mertua saya yang berusia 95 tahun... tanpa sakit apa-apa telah kembali kepada Tuhan dengan damai dan bahagia....


Dan masih di tahun yang sama pula... Tuhan telah melindungi anak saya dari kecelakaan yang hebat... Mobil kami memang rusak berat akibat kecelakaan tersebut..., tetapi anak saya selamat tanpa cacat sedikit pun..."

                                  

Pada kalimat terakhir istrinya menulis :


"Tahun lalu.... adalah tahun yang penuh berkah yang luar biasa dari Tuhan.... dan kami lalui dengan penuh rasa takjub dan syukur..."

                                       

Sang penulis tersenyum haru..., dan mengalir air mata hangat di pipinya... Ia berterimakasih atas sudut pandang berbeda untuk setiap peristiwa yang telah dilaluinya tahun lalu... Perspektif yang berbeda telah membuatnya bahagia...


We can complain because rose bushes have thorns, or rejoice because thorn bushes have roses. 

(Abraham Lincoln)


Kita dapat mengeluh karena semak mawar memiliki duri, atau bersukacita karena semak duri memiliki mawar..


Sahabat, di dalam hidup ini kita harus mengerti bahwa bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur. Namun rasa syukurlah yang akan membuat kita bahagia. Mari kita berlatih melihat suatu peristiwa dari sudut pandang positif dan jauhkan rasa iri di dalam hati. Sehingga kita termasuk orang yang pandai bersyukur 


Semangat pagi!!! 

Semoga sehat dan sukses selalu.

Salam kompak selalu

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...