Lamanya terjebak macet semenjak Pangkalan Balai hingga tak tahu kapan akan berakhir menyebabkan kami tertunda sholat wajibnya. Menjelang jam 5 sore ditengah himpitan kendaraan dari belakang depan, kiri dan kanan, tak ada pergerakan sama sekali, saya dan Imam sholat di masjid bergantian. Satu orang standby di mobil. Sementara Bundo dan Dhifa hanya berwudhu di sana dan sholatnya di dalam mobil. Bersyukur nya posisi mobil saat itu pas searah kiblat.
Lepas sholat, kami diskusi dengan supir truk di sebelah dan dapat kabar bahwa dia stuck di sana sudah sedari pagi. Sudah lebih 10 jam tak bergerak. Kami yang baru saja melewati truk yang terguling, tergeletak melintangi jalan, yang baru saja digeser oleh dua excavator berfikir ini sudah aman, sudah lancar jalan menuju Betung ternyata salah. Salah dalam berfikir. Ternyata macetnya ini sudah sangat panjang. Panjang sekali. Membuat tak ada pergerakan mobil yang berarti, setelah melewati sumber masalah.
Sumber masalah yang sangat, sangat lambat ditangani oleh pihak terkait menyebabkan persoalan ini makin rumit. Menjadi rekor terpanjang, macet terparah antara Palembang Jambi selama ini. Padahal truk yang terguling ini sudah terjadi sejak jam 9 malam di hari Jumat. Ini jalan lintas negara, jalan lintas propinsi, tingkat kepadatan nya sangat tinggi, mengapa aparatnya lalai?
Horor yang terjadi sepanjang hari jumat bahkan sabtu menjadi catatan tersendiri ke depannya. Semoga menjadi bahasan di tingkat propinsi Sumsel dan Jambi.
Menjelang waktu berbuka, kami bisa berbagi takjil meskipun tak banyak. Ada air mineral Ufia dan qurma yang kami bawa dengan seorang bapak bersama istri dan anak bujang nya yang berniat menuju Kota Pekanbaru. Bertiga mereka di dalam mobil sedannya, berpuasa semuanya.
Kami dengan bekal seadanya, buka puasa di mobil. Banyak warung ataupun rumah makan yang ada di sekitar area ini yang mendapatkan berkah. Apa yang mereka jual, ludes. Ada banyak pemuda dengan motornya menawarkan kopi dan pop mie bagi para supir, penumpang bis yang terjebak macet di sini. Ada roda ekonomi yang berputar di sini, yang Allah takdirkan. Ada rezeki yang tertumpah di sini bagi penduduk. Ini salah satu nikmah nya juga.
Puluhan jam terjebak, bukan sesuatu yang nyaman tentunya. Selain itu, untuk urusan "kebelakang" merupakan persoalan tersendiri. Banyak rumah penduduk yang dapat 'tumpangan' sekedar buang hajat. Para supir yang diuji kesabaran tingkat dewanya juga. Ngantuk, capek dan saling serobot ataupun sebaliknya, saling buka jalan satu sama lain. Alhamdulillah, sepanjang jalan yang saya tempuh kemarin sejak jam 10 pagi sabtu hingga malam, tak ada keributan sama sekali. Semuanya sabar, saling menjaga perasaan. Saling memahami bahwa ini adalah ujian bersama. Ini juga termasuk hikmah.
Malam menjelang, hujan dan gerimis pun saling mengisi satu sama lainnya. Di tengah suasana seperti ini polisi polisi muda mulai mengatur akses jalan. Ada yang ditutup sementara, ada yang dibuka aksesnya. Perlahan lahan terjadi pergerakan, termasuk jalur kendaraan saya yang menuju Betung. Merayap secara perlahan, meski kadang lama juga berhentinya.
Sekitar jam 9an sang Bundo melihat ada plang penginapan di sebelah kiri jalan. Info ada penginapan 500 meter di depan. Saya yang memang sudah sangat lelah, akhirnya minta Imam bangun dan menemani Bundo untuk jalan kaki ke depan. Melihat kondisi penginapan ini terlebih dahulu. Tak tega saya membiarkan Bundo untuk jalan sendiri di malam seperti ini. Imam bangun, membuka pintu dan berjalan bersama bundanya menuju penginapan.
Tak lama kemudian WA call dr Bundo masuk, mengabarkan ada kamar yang terdiri dari dua kasur spring bed ukuran king buat kita tempati. Harganya pun terjangkau. Hanya Rp. 220.000. Akhirnya Bundo dan Imam menunggu kami di sana. Penginapan Tetesan Embun, namanya. Sebelah kiri jalan kami menuju Betung.
Jadilah kami rehat di sini Sabtu malam minggu. Segera kami sholat berjamaah di kamar ini. Untungnya saat Bundo di resepsionis tadi sudah memesan makan buat kami bersantap malam ini sekalian buat sahur juga. Lauk dendeng dan rendang dari rumah sebagai tambahannya.
Saya mandi yang pertama disuruh Bundo dan makan terlebih dahulu. Setelah itu saya tepar. Tidur nyenyak. Anak anak dalam pengaturan Bundo semuanya setelah saya tidur tersebut. Tetapi mobil sudah saya pastikan terkunci sebelumnya.
Subuh saya dibangunkan oleh alarm, Bundo sedang sholat. Saya keluar kamar, melihat suasana jalan. Ternyata macetnya masih belum terurai. Horor sepanjang jalan Palembang Jambi ini belum selesai. Sempat berdiskusi sejenak dengan dua sekuriti penginapan dan beberapa supir menganalisis kondisi jalan yang akan kami tempuh.
Saya akhirnya berketetapan untuk memilih jalur via Sekayu Lubuk Linggau saja. Jalur ini lebih sepi dibandingkan via Tempino Jambi. Penyebab macet yang ada disebabkan karena penumpukan truk truk besar dan kecil serta bus di sepanjang jalan. Ini adalah akses jalan utama dari Jambi, Riau, Sumut Aceh dan sebagian dari Sumbar.
Selepas sahur dan sholat subuh, kami keluar penginapan. Alhamdulillah saat itu sudah lancar jaya hingga sekitar 500 meter menuju simpang Betung. Kemudian tersendat lagi. Giliran dari arah Betung menuju Palembang lancar. Gantian.
Tak berapa lama, saya belok kiri menuju Sekayu, sementara yang arah Sungai Lilin masih padat. Di goggle map pun begitu. Masih panjang warna merahnya.
Menuju Sekayu lancar jaya. Injakan gas bisa lebih dalam. Kecepatan saya bisa antara 70-90 km/jam. Namun horor lain masih menghantui. Yakni kelangkaan BBM di SPBU. Untuk itu sengaja AC saya matikan, jendela kiri mobil dibuka secukupnya. Udara pagi sangat segar. Jendala kanan saya tutup, menghalangi debu jalan masuk.
Di sekitar daerah Babat baru ketemu SPBU yang buka. Hanya satu pompa buat pertalite yang buka. Karena satu truk mereka sedang dalam pengisian. Truk datang terlambat karena terjebak macet sejak Pangkalan Balai, kata sekuritinya. Dapat saya bayang kondisi ini tentu hampir terjadi di berbagai tempat sepanjang jalan lintas.
Lepas itu AC baru hidup dan kita menyegerakan lari biar bisa sampai di Lubuk Linggau menjelang tengah hari. Perhitungan saya kalo semuanya lancar berbuka bisa di daerah Dharmasraya.
Dan alhamdulillah semuanya benar benar sesuai prediksi. Masuk jalan lintas tengah Lubuk Linggau menuju Dharmasraya saya sangat senang. Saya bisa menikmati kembali "jalur toll" gratis ini, setelah beberapa tahun tak saya lalui. Saya bisa memacu kendaraan diantara 80-100km/jam. Up and Down perbukitan di jalur yang boleh dikatakan lurus ini, sangat saya gandrungi. Apalagi kalo jalan siang seperti ini.
Menjelang Rumah Makan Umega kami bertemu dengan tiga unit Npm Sutan Class dengan segala cemonk nya. Bus ini jelas terlambat masuk. Kami bisa menyusul mereka, di depan mereka hingga RM. Umega. Tadinya mau makan di sini, tetapi melihat banyak bus lain yang parkir, kami lanjutkan perjalanan. Sudah terbayang banyaknya penumpang bus yang makan di waktu berbuka seperti ini.
Akhirnya kami makan dan berbuka di RM. Sinar Ombilin di sebelah kanan jalan. Alhamdulillah semuanya makanan enak. Ada asam padeh ikan, gulai kuning ikan patin, ayam goreng balado plus jengkol, dendeng balado, kalio hati dan sambalado hijau plus jengkol serta keruluk emping disiram kuah gulai. Saya yang biasanya menahan diri untuk tidak tambah nasi selama perjalanan jarak jauh, akhirnya jebol juga. Dua kali nambah. Pereda kantuk akibat karbo yang berlebih ini akhirnya ditutupi dengan pesan sebotol kopi panas yang ditempatkan di dalam botol Ufia 600ml. Total makan kami berempat dengan kopi dua gelas itu Rp. 135.000,-. Murah banget.
Lanjut perjalanan akhirnya kami mampir di salah satu SPBU menjelang Tanah Badantuang. Kami sholat wajib di sini sekalian saya menyegarkan diri akibat kantuk hebat yang datang. Tak cukup lagi kopi untuk menghilangkan kantuk ini. Sholat dan wudhu adalah obat yang mantap.
Lanjut di Tanah Badantuang kami belok kanan menuju Lintau dan Batusangkar. Jalan di sini sudah bisa perlahan lahan saja. InsyaAllah sudah aman, hanya tikungan tajam saja yang jadi perhatian. Berselisih dengan sesama mobil pun harus bersabar, karena jalannya relatif sempit.
Rehat karena ngantuk kembali saya lakukan di masjid Salimpauang. Hanya sekedar keluar dari mobil dan senam ringan melawan dinginnya malam. Lanjut lagi perjalanan hingga ke Baso dan berhenti lagi di Simpang Tanjuang Alam. Bersama Imam, saya menikmati Sekoteng dan Teh Telor. Di sini adalah langganan saya setiap pulang kampung. "Lamak teh talua nyo", kata Imam kepada saya.
Jam 00.30 dini hari kami sampai di Kapau.
Kami akan menemani kesendirian nenek hingga para amuncu datang lengkap menjelang lebaran nanti.
Parah macet palembang betung yo... Ba a kondisi jalan sekayu lubuk linggau apo lai rancak? Thx
BalasHapusAlhamdulillah, jalan relatif rancak. Kalo lewat siang bisa menikmati sungai Musi. Kalo malam penerangan jalan agak kurang. Relatif sepi, kendaraan bs dipacu
HapusKami rencana pulang rabu malam ka kerinco via sekayu lbk linggau
BalasHapusWah bagus itu. Siang sdh bisa menikmati alam yang ada di sepanjang jalan. Kendaraan relatif sepi. Jadi amanlah di kecepatan 80-90 km/jam.
Hapus