Selasa, 11 Juni 2019

Lintas Sumatra : Arus Balik 2019

Selepas sholat subuh Sabtu 8 Juni 2019, saya kembali mengumpulkan apa yang tersisa tadi malam. Segala yang sudah disiapkan oleh istri ditumpuk pada satu tempat, tinggal saya yang mengatur penempatannya di mobil. Terlebih dengan apa yang berkaitan dengan konsumsi dan baju ganti selama dalam perjalanan nanti.

Dalam balik kali ini, kami hanya berempat saja. Saya, istri, Imam dan Dhifa. Agak lega, tetapi istri tetap minta bangku ketiga jangan dilipat, biar buat si kecil bila dia perlukan untuk tidur. Sehingga diantara bangku ke dua dan ketiga saya susun tas coklat kami yang berisi pakaian bersih yang belum sempat disetrika dan beras dari mama. Tak ada ruang kosong di antaranya, lumayan lega buat tidur. Di ujung sisinya sata tempatkan bantal kesukaan Dhifa.

Oh ya, setiap pulang kampung beras selalu mama sediakan buat kami, begitu juga dengan adik adik istri lainnya. Beras Kapau asli, kualitas premier. Rasanya beda. Beras mama ini biasanya dikirim buat pelanggan beliau "owner" rumah makan Nasi Kapau, baik yang di Los Lambuang, Padang dan bahkan di Pekanbaru, termasuk restoran RM Inyiak Sanang di Rumbai adalah pelanggan tetap mama.

Setelah beres semuanya, kami pamit. Jadwal yg semua direncanakan jam 6 pagi terundur hingga jam 8. Dari empat keluarga anak mama, kami yang berangkat lebih dahulu, disusul yang ke Pekanbaru dan Padang. Yang menuju Batam berangkat hari selasa, 11 juni dengan pesawat.

Tepat jam 07.45 kami berangkat meninggalkan rumah, mampir di rumah ante Upik sebentar pamitan dan berjanji akan bertemu lagi di Jakarta 20 juni nanti dalam pesta pernikahan dan resepsi anak sulungnya.

Selanjutnya kami menuju simpang Tanjuang Alam, belok ke kiri menuju simpang Baso menuju Batusangkar. Lumayan rame pagi itu di sepanjang jalan. Bisa jadi sudah mulai bergerak para perantau menuju propinsi Riau melalui kota Payakumbuh. Berangkat lebih awal supaya ada waktu mampir di daerah wisata sepanjang jalan hingga kelok 9 yang menawan ataupun mengantisipasi macet yang lebih parah.

Macet mulai kami alami menjelang simpang Baso, disebabkan antrian kendaraan pribadi yang mau masuk ke SPBU dari jalur kiri maupun kanan jalan. Selepas simpang Baso jalan lancar sekali. Jendala mobil sengaja saya buka agak lebar menikmati udara segar alam pegunungan dan perbukitan yang ada di sepanjang jalan. Pagi itu udara terasa sangat segar, indahnya pemandangan alam sangat memanjakan mata. Sisi gunung merapi di sebalah kanan kita sangat sulit untuk dilepaskan dari pandangan, begitu juga dengan gunung Sago di sebelah kiri. Hamparan sawah membentang antara dua sisi jalan Batusangkar - Payakumbuh. Indah nian.

Ada lokasi wisata Tabek Patah dijalur ini, dengan pemandangan yang sangat menawan untuk melihat kota Payakumbuh dari kejauhan. Ada masjid Quba yang juga menawan sebagai alternatif persinggahan jika kita ingin sholat dan selfie di sini. Udaranya sejuk sekali, air krannya sangat dingin. Banyak yg sengaja mampir di sini baik sekedar sholat maupun rehat dalam perjalanan.

Deretan rumah makan bernuansa alam di ketinggian dengan hamparan sawah di sekelilingnya. Rerata selain masakan padang yang sudah terkenal disediakan, ikan bakar adalah pilihan utama yang disuguhkan. Andai agak berjalan siang hari di daerah daerah ini akan kita jumpai kemacetan oleh kendaraan pribadi maupun bus pariwisata yang parkir berjejeran.

Sebelum masuk kota Batusangkar saya belok ke kanan, menuju kampung halaman di kecamatan Limo Kaum, Balai Labuah. Sekalian berhari raya dan juga melihat rumah yang ibu bangun dari hasil pencahariannya selama di rantau dulu, yang sekarang kosong tak ada penghuninya. Biasanya tak putus putus orang yang ngontrak rumah kami ini. Belum selesai masanya sudah ada yang bertanya, kapan bisa ditempati. Mungkin sekarang beda karena memang kondisi ekonomi juga yang agak tersendat.

Sekitar setengah jam kami mampir di sini, photo bersama bersama etek etek dan anak anaknya, kami melanjutkan perjalanan menuju Saruaso. Berjanji hendak bersilaturahmi dengan "konco arek" Jon Mikhrad, teman kuliah dahulu yang juga beristri seorang apoteker seperti saya juga. Sama sama adik kelas kami, cuma mereka beda angkatan.

Melintasi terminal Dobok Piliang, banyak angan saya melayang. Kembali berputar pada masa masa silam. Tatkala liburan sekolah sering kami ke sini. Masih terbayang bagaimana bus Merah Sari dan Merah Sungai dari Dumai/Duri menurunkan penumpangnya di sini. Masih terbayang bus besar APD dan APB  sering kami naiki di sini ketika hendak ke Padang. Tetapi sekarang tampak tak lagi "rami", jauh beda dengan dulu. Mungkin sudah jarang bus-bus besar masuk ke sini. Bus Yanti dan Syofia sudah jarang terlihat, padahal dahulu raja-nya di sini. Angkot pun tak banyak lagi. Apalagi yang namanya bendi. Hehehe, musim berlalu tahun pun berganti. Dulunya rami sekarang sepi.

Lepas terminal di ujung jalan pertigaan ke Saruaso, sebelah kanan  terlihat bukit yang sudah terkikis beberapa sisi tebingnya dan diratakan, dijadikan perumahan. Di sisi sebelah kiri masih terlihat alam, menampakan kota batusangkar yang senantiasa dijaga oleh Gunung Bungsu.

Roda mobil terus berputar mengarah dan relatif menurun menuju pasar Saruaso dimana bung Mikhrad sudah menunggu. Selepas Oma Mart, terlihat beliau menunggu sambil menggendong si "Buah salek nan sabana kamek", yg baru berumur satu setengah tahun, amanah Allah yang ketiga buat kawan kami ini. 

Kami mampir di rumah ortu Ona, istri Mikhrad, yang kebetulan ada acara "mandoa" lepas zuhur nanti. Makanan tersedia ala Minangkabau di ruang keluarga yang luas ini disusun di atas kain putih yang digelar beberapa helai. Di dapur beberapa "amak amak" sibuk menyiapkan segala sesuatunya.

Tak ingin lama mengganggu tuan rumah, kami sudahi "barirayo" di Saruaso. Kami lanjutkan perjalanan ini setelah jarum jam menunjukan angkat 10 lewat dikit.

Menyusuri jalan menuju Setangkai Lintau, semuanya sudah tertidur pulas. Tinggal saya yang menikmati pesona alam yang Allah suguhkan. Jalan berbelok belok, kadang tajam sekali, naik dan turun perbukitan  hingga masuk kota Muaro Sijunjuang. Untung anak anak tidur, kalo tidak tentu akan mual selama perjalanan ini.

Setelah melewati Tanah Badantuang, kami masuk ke jalan utama lintas tengah sumatra. Banyak sekali terlihat plat no kendaraan di luar Sumbar sepanjang jalan ini. Jalan yang umumnya lurus, sekali sekali berbelok di pinggang bukit barisan, kadang "up and down",  dengan kecepatan rata rata diatas 60 km per jam bersilewaran silih berganti, memacu adrenalin layaknya sirkuit, balapan. Saling memacu, mendahului.

Tepat jam 14.05 kami sudah melewati batas propinsi Sumatra Barat dengan bangunan Rangkiang di dua sisi jalan. Memasuki propinsi Jambi. Kami memutuskan untuk mencari SPBU ketika sudah seharusnya mengisi BBM sekalian rehat sholat dan makan siang sekalian.

Istirahat pertama kami di SPBU Tanah Sepenggal Bungo Jambi dengan pengisian sejumlah Rp. 330.000,- sebanyak 42 liter pertalite. Rehat, sholat dan mandi kami di sini. Lebih kurang satu setengah jam. Angka tempuh dr Kapau hingga kami istirahat di sini menunjukan angka 258.4 KM.

Lepas itu jalan lagi hingga memasuki kabupaten Sarolangun kami istirahat di SPBU menunaikan sholat mahrib dan isya. Banyak para musafir yang sholat di sini.

Terus menyusuri malam kami nikmati perjalanan ini dengan kecepatan sedang. Sangat hati hati saya membawa terios ini, karena masih banyak kendaraan roda dua di sepanjang jalan menuju kota Lubuk Linggau. Kadang kala kami temui pengendara motor yang tak hidup lampunya. Entah sengaja atau memang sudah tak berfungsi lagi. Apalagi di trek lurus ini kecepatan mereka berkendaraan rerata masih tinggi.

Oh ya, sebelum maghrib tadi, di sisi sebelah kanan jalan arah ke Sumbar terjadi tabrakan beruntun. Ada dua tiga mobil dan satu motor NMax. Beberapa polisi yang mengamankan lokasi. Ada satu mobil saya lihat bonyok bagian depannya. Masyarakat sangat ramainya di sekitar lokasi kejadian. Namun saya tak tahu ada berapa korban yang ada. Ini yang perlu kita waspadai. Berhati hati dan sabar dalam berkendaraan itu HARUS.

Menjelang jam 22.00 kami sampai di kota Lubuk Linggau. GPS mengarahkan ke lingkar utara, tetapi saya memutuskan lewat dalam kota saja, sambil menunggu adinda Fadli yang ada di belakang. Saya memilih rehat sejenak di dekat Bank Syariah Mandiri selepas belok kiri pertigaan kota Lubuk Linggau. Saya lihat ada security yang duduk berjaga di samping ATMnya. Instuisi saya mengatakan inilah tempat yang aman buat rehat di dalam kota. Anak anak masih tidur, istri yang baru bangun saya minta "stand by" jaga sementara saya mau tidur barang sejenak. Ada barang 45 menit tertidur, saya merasa segar kembali.

Di samping bank BSM tersebut ada Alfa Mart buka 24 jam, saya manfaatkan beli cemilan buat anak anak dan minuman kopiko 78 buat saya di jalan nanti. Selain itu juga buat numpang ke WC yang ada.

Lebih satu jam menunggu Fadli akhirnya datang, dengan adik sepupunya yang nyetir. Bersalaman, kami pun cari tempat yang nyaman buat Fadli dan keluarganya makan malam.

Jam 23.30 kami pun jalan meninggalkan kota Lubuk Linggau, menuju Kota Lahat. 15 menit jalan kami bertemu SPBU buat ngisi BBM Fadli yang sudah "rest", saya yang masih tersisa empat bar, di angka speedometer menunjukan 603.4 7KM ikutan ngisi juga. Pengisian sejumlah Rp. 190.000,- dengan isian 24 liter pertalite.

Setelah selesai urusan "ke belakang" di SPBU ini kami melanjutkan perjalanan menjelang pergantian hari.

Saya memilih berada di belakang mobil Fadli, karena adrenalin saya akan meningkat mengimbangi kecepatan mobil Fadli yang baru. Dengan begini InsyaAllah kantuk akan hilang. Ibarat orang ngantuk disuruh berlari, pasti kantuknya akan hilang. Begitulah kenyataannya.

Sebagai seorang solo driver, diantara rawannya daerah Lubuk Linggau - Lahat, mesti punya teman dalam perjalanan yang bisa dipercaya. Makanya saya tadi berkenan menunggu Fadli, sambil memanfaatkan waktu untuk tidur. Alhamdulillah, selama menempuh jalan malam hingga ke Muara Enim saya segar, nggak ngantuk sama sekali. Adrenalin berpacu, ditambah dengan asupan pisang dan cemilan secara bertahap disiapkan istri. Ada kopiko 78, vitacimin dan permen Hack yang menemani serta kue bolu juga.

Selepas Muara Enim, saya ambil posisi di depan. Dengan pertimbangan mau cari masjid yang bersih buat sholat subuh dan rehat. Alhamdulillah karena sudah terbiasa sholat di daerah ini saya hafal beberapa mesjidnya.

Tepat jam 4.30 saya memarkirkan mobil di masjid Nur Aqsha Keban Agung, lepas Kota Tanjung Enim, di sisi kanan jalan, diikuti oleh mobil Fadli. Anak anak saya bangunkan, kami bersiap sholat. Selepas adzan berkumandang, saya sholat sunnah. Dalam penantian iqomah, saya berfikir ada baiknya saya rehat tidur sejenak nantinya di sini. Masjidnya besar, bersih dan ada AC-nya.

Lepas sholat saya sampaikan niat tadi kepada Fadli, namun Fadli memilih tetap lanjut karena mereka masih fresh setelah pergantian driver.

Saya sampaikan ke istri bahwa saya mau tidur dahulu dan mereka bisa makan dan minum di teras masjid. Ada keluarga lainnya yang rehat di sana bersama "baby" mereka. Saya sarankan kalo mau mandi dan urusan "ke belakang" bisa dilakukan di sini.

Tak lama kemudian Imam sudah bawain saya bantal buat tidur. Saya benar benar terlelap. Tanpa mimpi, tapi saya tak tahu apakah saya ngorok atau tidak. Hanya mereka lah yang tahu.

Lebih satu jam rasanya saya tertidur, jam 06.30 saya pun terbangun dan lihat hanya mereka bertiga saja yang ada di teras masjid. Telah rapi, telah selesai makan dan lain lain sebagai nya. Saya pun bersegera mandi.

Jam 7.40 kami pun berangkat meninggalkan masjid, sembari tak lupa meninggalkan infak.

Pagi itu, walau tanpa sarapan sebelumnya, saya merasa fresh kembali. Di pinggang bukit itu saya coba mengikuti larinya mobil-mobil pribadi yang seolah balapan. Beberapa bus NPM, Transport dan Gumarang Jaya berpapasan dengan kami. Jalan sempit dengan banyaknya peminta sumbangan di sepanjang jalan, bukan jadi halangan. Beberapa spot jalan yang dahulu rusak parah, sekarang sudah mulus. Saya ingat daerah ini karena sering terjebak dalam lubang lubang kecil dan sekali sekali ada yang besar juga.

Alhamdulillah semua lancar. Kami lalui kota Baturaja dan Martapura menuju perbatasan Lampung. Alhamdulillah stamina masih saja oke, bisa jadi karena perut tak terisi penuh.

Menjelang tengah hari saya putuskan untuk istirahat dan makan siang di daerah Bukit Kemuning. Biasanya saya istirahat di SPBU, tetapi kali ini saya pilih di seberangnya. Ada jejeran tempat kuliner para musafir, yang selalu saya perhatikan selama ini. Kebetulan istri kepengen makan soto atau soup. Pengen yang hangat-hangat.

Jam sebelas siang saya parkirkan mobil di salah satu warung makan yang dari jauh terlihat ada sotonya. Dan disebelahnya ada rumah makan Padang. Saya benar benar butuh teh telur. Sesuatu yang tidak dapat selama mudik kali ini. Biasanya teh telur ataupun sekoteng jadi idola saya setiap pulang kampung, tetapi baru kali ini tak kesampaian sama sekali.

Selepas buang air di sana, saya tanya pada pelayan Rumah Makan Padang tsb, "Ada teh telur pak? "
Tanya saya yang penuh harap ini hanya berbalas kehampaan. Di situ saya merasa sedih.

Akhirnya di warung soto tersebut kami memesan 3 porsi soto, sambil dibuka juga bekal dari mama yang masih tersisa. Nasi yang dibungkus daun pisang masih Ok, aromanya saya suka, rendang ayam masih cukup, ikan "sapek" masih ada plus "samba ampok patai" kesukaan saya masih menggoda selera.

Melihat nafsu anak berkurang dengan soto di sini, dan nasi masih banyak, saya minta dua porsi indomie rebus pake telur. Anak anak sumbringah, mereka tersenyum bahagia. "Ayah tahu apa yang kami inginkan', begitulah yang ada dalam pikiran mereka. Tetapi saya bilang, "Sotonya harus habis sebisanya". Saya tahu mereka berdua kurang bersahabat dengan sayur "lobak' dan seledri yang ada di soto tersebut.

Sembari mereka makan saya manfaatkan lesehan yang kami pesan ini untuk tiduran sejenak, meratakan badan dengan bumi, sambil membaca perkembangan terbaru di WAG Jalinsum serta memantau siapa saja yang sedang dalam perjalanan ke arah yang sama.

Ternyata masih ada da Febrianto dan keluarga yang baru saja keluar dari salah satu hotel di Baturaja. Saya fikir sudah jalan sejak pagi, ternyata baru keluar jam 10 dari sana. Pada saat yang sama dengan saya di Bukit Kemuning, beliau juga sedang makan di RM Setia Baturaja. Pak Nami yang sama sama berangkat dari Solok kemarin, barusan saja meninggalkan rumah makan di Kota Bumi.

Setelah selesai makan, anak anak masih berberes, saya nyalakan mobil, hidupkan AC, tak sengaja mata ini tertuju pada angka 1000.0 di speedometer mobil. Alangkah kagetnya saya. Ternyata jarak tempuh yang sudah saya jalani dari Bukittinggi - Bukit Kemuning tepat dimana saya istirahat saat ini, PAS 1.000,0 KM. Tidak kurang tidak lebih. Luar biasa. Sesuatu banget. Sesuatu banget Allah perlihatkan pada saya.

Menjelang jam 12 siang itu kami lanjutkan perjalanan. Perhitungan saya nanti sholat zuhur dan ashar bisa dilakukan di rest Area tol Terbanggi - Bakauheni. BBM diperkirakan masih cukup, sekalian pengisiannya di sana saja. Masih terlihat 3 Bar sisanya saat meninggalkan Bukit Kemuning ini.

Kota Bumi kami lewati, kendaraan menuju tol sudah terlihat rame, berbagai plat no dari berbagai daerah terlihat sepanjang jalan. Memasuki gerbang tol Terbanggi, mobil dipaksa berputar oleh petugas LLAJ, menghindari kemacetan yang panjang menjelang pintu tol.

Dua bar tersisa saat saya lirik ketersediaan bbm, saya yakin masih amanlah untuk melewati tol ini.

Masuk tol antrian lumayan juga, e-money di kartu tol sangat cukup. Lepas gate tol terbuka, saya coba jajal kecepatan terios di atas angka seratus, berharap bisa berhemat bbm dan bisa rehat nanti di KM 33. Namun apadaya menjelang KM 42 kecepatan mobil mulai menurun, tak bisa dipacu lagi.

Saya kurangi kecepatan dan berpindah segera ke jalur paling kiri. Dan apa yang saya cemaskan ternyata terjadi. Di luar prediksi saya, ternyata BBM habis sama sekali. Kendaraan terhenti. Dan bersyukur juga bahwa posisi sudah sangat di tepi, di bahu tol.

Segera "hazard lamp" saya aktifkan, segitiga pengaman saya pasang. Setelah itu saya telpon kakanda Febrianto dan adinda Fadli Rahman menanyakan dimana posisi mereka masing masing. Alhamdulillah mereka berdua baru saja akan memasuki gerbang tol. Saya titip pesan dan ceritakan kondisi saya apa adanya. Saya minta tolong dibelikan bbm buat sebelum mereka masuk gerbang tol.

Alhamdulillah, ternyata Fadli yang saya duga sudah di kapal, ternyata rehat pagi di Baturaja dan mampir ke rumah tantenya di Kota Bumi. Dia datang membawa 5 liter bensin. Alhamdulillah beliau ikut membantu saya mengisi bbm tersebut. Saya tawari agar kita rehat di RA KM 33 sembari menunggu da Febrianto yang juga telah membawa BBM juga.

Dua kali saya didatangi petugas saat menunggu mereka datang, tetapi saya katakan apa yang terjadi dan sedang menunggu BBM yang sedang "on the way". Petugas ini sangat ramah, sangat bersahabat.

Setelah pengisian bbm dari Fadli saya jalan lagi dan Fadli ternyata memilih tetap lanjut. Di rest area KM 33 ini saya menunggu da Febrianto. Di rest area ini juga kami melakukan sholat qashar zuhur dan ashar.

Alhamdulillah da Yan datang dan kami pun dapat tambahan pertamax 10 Liter. Saya pikir cukup ini. Dan bersyukur sangat terbantu oleh kakanda dan adinda yang sesama alumni kimia Unand. Kami termasuk sebagian kecil dari orang orang yang "care" terhadap alumni dan almamater, khususnya alumni Kimia Unand. Saya sangat bersyukur, di saat kritis seperti ini ada kemudahan, ada saja yang mau membantu tanpa pamrih. Alhamdulillah.

Lanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Bakauheni. Info yang didapat sebagian besar sejak jam 16.00 semua kendaraan yang menuju pelabuhan sudah dibuang ke jalan arteri. Kemacetan sudah mulai dipecah, jangan menumpuk di tol saja.

Di GT Kalianda, di depan saya sebuah mini bus sudah diminta petugas keluar. Ada mobil derek yang dipasang melintang dan beberapa "corn" plastic terpasang rapi. Saya yang tadinya menggunakan baju Jalinsum edisi terbaru sudah punya firasat bahwa baju kaos tentara yang ada pasti ada manfaatnya, pasti ada gunanya. Makanya baju jalinsum itu saya lepas, berganti dengan baju loreng di RA KM 33 tadi.

Nekad saja saya bilang sama Petugas tersebut,  "Pak izinkan saya lewat tol ya. Saya dan kakak yang menggunakan mobil hitam di belakang". Beliau melirik sejenak, dan menjawab, "Cepat ya Pak, jangan ketahuan yang lain". "Baik Pak", jawab saya dan beliau pun membuka jalan dr dua "corn" yang terpasang. Alhamdulillah kami pun bisa tetap di jalur tol hingga pelabuhan. Dari WAG Jalinsum sebelumnya kami sudah tahu bahwa jalan arteri juga sudah sangat padat. Jauh lebih panjang antriannya.

Menjelang pintu tol antrian panjang terlihat, begitu juga antrian mobil yang ada di dermaga terlihat jelas dari kejauhan. Luar biasa. Baru sekali ini saya mengalami kejadian yang seperti ini.

Akhirnya kami pun masuk dalam antrian. Baik di jalur tol maupun di dermaga 3 yang kami tentukan. Karena di dermaga ini adalah salah satu yang tercepat dalam pelayanan dan pelayarannya. Kapalnya relatif baru dan besar. Begitu info di jalinsum terbaca siang tadi.

Tiga kali menunggu kapal, bari kami bisa naik. Kapalnya kecil  tidak seperti dua kapal sebelumnya yang besar dua kali lipat yang ini. Tetapi saya sangat yakin, yang kecil ini bisa saja lebih cepat sampainya.

Benar sekali dugaan saya, menjelang jam 12 berangkat, jam 02 lewat dikit sudah merapat di Merak. Dua jam lebih perjalanan.

Alhamdulillah selama dua jam perjalanan di selat sunda ini saya bisa tidur maksimal. Saya tidur di mushola sehabis sholat maghrib dan isya ketika kapal sudah mulai bergerak. Saya putuskan di sini karena tak ada lagi tempat yang nyaman buat tidur. Semua area penuh oleh penumpang, baik di dalam mapun di bagian luar kapal.

Alhamdulillah tidur dua jam saya ini sangat membantu pemulihan diri. Keluar dari tol, saya langsung cari SPBU. Tertinggal satu bar saja saat itu. Pengisian terakhir ini diisi full dengan nilai 310.000 rupiah hampir 40 liter.

Menjelang masuk tol Fadli menelpon, menyampaikan bahwa dia baru saja istirahat di Rest Area Pertama. Lagi makan malam yang tertunda. Saya tanyakan istri, kita istirahat atau tetap jalan.

Saran istri tetap jalan sajalah, toh anak anak tertidur pulas. Ntar menjelang ke rumah saja kota beli makanan. Dan betul juga menjelang jam 4 dini hari sebelum masuk gerbang perumahan kami membeli Sabana Fried Chicken di Parung Serab yang buka 24 jam. Tiga box kami beli dengan tambahan nasi extranya satu. Totalnya 51.000,-.

Jam 04.00, Senin 10 Juni 2019, akhirnya Terios kami sudah terparkir di garasi rumah. Total perjalanan dari kampung hingga ke rumah 1330.5KM. Dengan lama perjalanan sejak dari Kapau 44 jam.

Namun kalo dihitung tanpa kemacetan parah di Bakauheni, tanpa waktu tunggu di Lubuk Linggau dan waktu silaturahim di Batusangkar perjalanan kami ini masih tetapah sama. Masih bisa dibawah 36 jam, dengan tidur yang juga sangat sedikit.

So untuk seorang "solo driver" seperti saya Allah masih titipkan stamina yang masih prima. Alhamdulillah, tetap pada-Nya lah kami semuanya bersyukur atas karunia yang diberikan. InsyaAllah, selamanya akan begitu!!!














4 komentar:

  1. Alhamdulillah suatu pengalaman untuk Rantau pulkam ke Ranah ye. Informasi dan pengalaman menarik. In Shaa Allah pbila ada umurqu panjang (76 yrs.old.) mo cuba lagi yea sejak 1953 bersama Ortu kabur dari Ranah ke Rantau Bhumi Criwidjaya karena ulah PRRI.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, alah mambaco dan memberi komentar dalam blog ambo ko pak. Semoga apa yang disampaikan, diniatkan ALLAH wujudkan. Apalagi dengan berfungsinya tol sumatra sedari Bakauheni hingga bumi Sriwijaya akan meringankan langkah ke sana.

      Hapus
  2. Terima kasih Bung Aryandi atas info dan kebetulan Ortu Laki asli Salimpaung Batusangkar.Seyogyanya berkenan ada baiknya ditulis dalam buku pengalaman yag dapat dijual kpd Duns lainnya yang berminat.

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah, pak atas saran yang disampaikan. Semoga suatu waktu nanti bisa dibukukan.

    BalasHapus

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...