Pagi selepas subuh tadi, sesuai rencana saya dan Nova berniat untuk jalan pagi seperti kebiasaan kami kalo libur, entah di rantau maupun di ranah. Biasanya jalan pagi ini kami laksanakan sekitar satu jam-an dengan jarak tempuh relatif antara 3-5 Km, tergantung mood dan persinggahannya.
Setelah semuanya siap, kami meninggalkan rumah. Mama yang masih tidur lagi selepas subuh, tak kami ganggu walau hanya sekedar untuk pamit saja. Takut mengganggu. Dan saya dari dulu juga orang yang paling malas membangunkan orang yang tidur, kecuali atas permintaan. Bagi saya tidur adalah suatu kenikmatan. Mengganggu kenikmatan adakah suatu pelanggaran hidup. Betul, kan? Sejatinya saya juga nggak mau diganggu saat tidur. :)
#####
Dingin pagi ini tak seperti kemarin. Bisa jadi karena berjalan berduaan sehingga ada kehangatan yang mengalir dari sanubari. Jalanan sepi, langit masih gelap, kami susuri perlahan. Hanya penerangan dari teras teras rumah yang menjadi hiasan jalan.
Menjelang surau Sirah, terasa ada tetesan air menerpa wajah dan tangan, perlahan. Saya tanya ke Nova, "Lanjut atau balik? ". Makin lama terasa agak banyak, akhirnya Nova memutuskan, "Balik aja lah yah? Akan hujan nampaknya".
Akhirnya kami balik langkah, berjalan agak cepat mengiringi cepatnya air yang turun dari langit. Seolah olah kami berpacu dengan gerimis pagi.
Melirik ke sebelah kiri, saya tawarkan untuk mampir aja di rumah ante Upik, yang terlihat terbuka pintu bagian belakang rumahnya dengan cahaya lampu yang terang, sekalian melihat Dhifa yang telah dua malam berturut turut nginap di rumah nenek gurunya ini. Nova menjawab dengan mantap, " Setuju!!!".
Pagar yang terbuka, kami masuki. Pintu depan masih terkunci, salam kami tak berjawab, kami teruskan ke pintu belakang yang terbuka tadi. Terlihat Om Syafe'i lagi makan, sendirian.
"Assalammualaikum", sapa saya. Si Om yang lagi makan, kaget sembari melihat ke pintu menjawab, "Alaikummussalam". Berhenti mengunyah sejenak, mempersilakan masuk. Tak lama kemudian, ante datang, tersenyum melihat kami berdua sudah menarik kursi untuk duduk. Ante menawarkan kopi sebagai minum pagi. Tak bisa saya tolak karena kopi yang ante tawarkan bukan kopi sachet. Tentu rasanya akan beda, karena ini adalah kopi kampung asli. Kopi terbaik yang biasanya ante siapkan buat konsumsi keluarga.
Ada buah sawo dalam dus yang antw tawarkan. "Cobalah, sangat manis", kata ante Pik pada kami. Saya pilih beberapa buah, saya tarok di atas meja, sembari mengambil pisau kecil buat mengupasnya. Benar, buah ini sangat manis sekali. Akhirnya ante menambah beberapa buah lagi melihat Nova sangat enjoy mengupas dan memakannya dengan lahap. Nova memang sangat doyan denga buah buahan, apalagi manis begini. Manisnya sangat baik untuk kesehatan. Fruktosa sangat baik dibandingkan Glukosa untuk usia usia kita yang menjelang kepala lima ini.
#####
Hujan masih menghiasi pagi itu menemani obrolan kami di meja makan tersebut, makin deras. "Ota" kami di meja makan pun makin menjadi sembari makan buah sawo. Ada Nurul Afifi dan Dhifa juga bersama kami.
Banyak hal yang kami ceritakan, tentang perjalanan hidup dan kehidupan. Ada hikmah tentang bagaimana keihklasan dan ketulusan dalam menolong orang lain, ternyata menjadi jalan pembuka rezeki yang Allah tunjukan terhadap salah seorang ibu yang merupakan kenalan dari Om dan ante kami ini.
Bagaimana dengan ketulusan ibu ini menolong seorang jiran dari Malaysia yang terjerat kasus di negeri ini, bisa membuat hubungan mereka akhirnya seperti hubungan saudara sendiri, bahkan lebih.
Ibu ini dan keluarganya beberapa kali diundang ke Malaysia, ditanggung semuanya baik transportasi dan akomodasinya. Persaudaraan yang luar biasanya. Selain itu pihak keluarga yang di Malaysia ini, bila ada koleganya yang ingin berkunjung ke ranah Minang selalu memberikan rekomendasi kepada ibu muda yang baik hati ini. Bisa dikatakan si Ibu yang juga seorang driver ini "tour gudie"-nya tetamunya dari Malaysia. Tentunya ada "side income " yang beliau dapatkan.
Bisa jadi inilah yang disebut dengan pertolongan yang kecil, di saat yang tepat mendatangkan cinta yang besar. Sebuah hikmah cerita kami pagi ini.
Akhir cerita ante dan om mengajak "manangguak" ikan yang ada di kolam samping rumah buat di makan nanti siang. Saya tertarik, karena ikan nya sangat banyak. Namun tak disangka, hanya dengan sekali "tangguak" saja, saya dapatkan ikan yang sangat besar. Ikan Rayo, yang beratnya lebih sekilo. Luar biasa. "Sudah lama ikan besar ini diincar, namun tak jua didapat", kata si Om.
Oleh ante, kami ditahan jangan pulang dahulu. Ternyata dalam waktu yang tak begitu lama, selesai oleh Ante mengolah ikan tersebut. Gulai Ikan. "Gulai Kuniang", begitu disebut di kampung kami ini.
Ditambah dengan dadar tiga butir telor bebek, sayur yang ditumis, samba lado hijau menjadi pengantar makan pagi kami pagi ini. Bukan lagi sekedar sarapan, tetapi benar benar makan besar di pagi ini.
Semuanya segar. Semua bahan diolah dari bahan yang segar dan beberapa sayur ditanam di pekarangan sendiri. Dimakan di saat udara yang juga segar. Sesegar hujan yang sudah mulai mereda.
Barakallah buat Ante Nelti dan Om Syafei.
Kapau, 28 Desember 2019
10.08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pijar Park Kudus
Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...
-
Pagi ini kami menata semuanya dengan sangat baiknya. Management Waktu sangatlah terorganisir dengan baik. Berbenah di rumah sebelum berangka...
-
Mandi Pagi Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1300 an km dari Tangerang menuju Kapau Bukittinggi, pagi ini baru sempat mengantarkan T...
-
Alhamdulillah, pagi ini kami kembali ke rantau setelah dua Minggu berada di kampung halaman. Dua Minggu berkesan. Memberi kesempatan kepada ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar