Rabu, 15 Januari 2020

Lintas Sumatra: Palembang - Sarolangun via Sekayu (part 3)

Selasa, 24 Desember 2019

Selepas makan pagi dan rehat hampir satu jam di salah satu rumah makan, selepas batas kota Palembang kami lanjutkan perjalanan walau masih dalam guyuran hujan yang sudah mulai berkurang. Tak mungkin berlama lama rehat di sini karena akan memperlambat perjalanan yang belum kami tahu bagaimana kondisi jalannya. Tadi sempat ngobrol dengan pemudik yang hendak ke kota Padang dan bertukar pikiran jalan mana yang hendak ditempuh. Mereka awalnya hendak melewati Bayung Lencir, tetapi entah berubah pikiran entah tidak setelah saya sampaikan bagaimana kondisi jalan tersebut saat musim hujan seperti ini. Kondisi bayung lencir berdasarkan info sebelumnya di WA grup Jalinsum masih parah. Mereka telah berangkat lebih dahulu dari kami, setengah jam yang lalu.

Hujan dan macet menemani kami dalam beberapa kilometer. Hampir satu jam lamanya baru kami menikmati jalan yang lancar. Google map yang saya ubah arah menuju kota Lubuk Linggau, mengarahkan kami menuju area perkantoran PEMDA Betung. Jalan yang tadinya satu jalur sekarang menjadi dua jalur dan cukup lebar. Di sini dengan penuh keraguan saya jajal saja jalan ini, berharap segera sampai di jalan utama Betung Sekayu. Jalanan sepi dan perkantoran terlihat agak jauh dari jalan utama ini. Makin ke ujung jalan sedikit berlubang dan mulai sepi banget. Hanya beberapa motor saja terlihat.

Di ujung jalan terlihat pertigaan, dan sesuai permintaan "google map" ini, mobil saya arahkan ke kiri. Nampak jalan beraspal mulus walau tak lagi dua jalur. Jalanan masih sepi, hanya sesekali saya berpapasan dengan mobil pribadi. Saya percaya dengan google map ini, meskipun jalan ini pernah saya tempuh dari arah yang berlawanan ketika pertengahan Ramadhan th 2013 bersama pak Dadang sebagai driver kami waktu itu. Namun perjalanan malam yang kami tempuh waktu itu penuh "kengerian". Jalan yang sebagian besar masih jelek, bertanah, dan banyak "penunggu"nya ketika harus melewati jembatan yang sedang dibangun. Untung saja "para penunggu" ini masih mau menerima uang seribu dua ribu yang kami berikan. Saat itu kami tersasar karena mengikuti konvoi mobil yang jalan juga. Mereka putar balik, sedangkan kami tetap jalan sesuai GPS yang ada saat itu. Google map waktu itu belum ada. Perjalanan malam tak banyak tempat yang bisa kami amati. Setelah sampai di Palembang esok harinya, melalui BBM Grup sang kuncen Jalinsum menyampaikan bahwa rute yang kami tempuh semalam adalah "jalur neraka". Untung saja kami selamat sampai di Betung menjelang subuh. Kami baru rehat setelah sampai di kota Palembang lebih kurang menjelang jam 10 di sebuah mesjid. Terpaksa perjalanan yang tadinya ingin melewati jalinteng pindah kejalintim. Semuanya karena kesasar. Ngeri ngeri sedap waktu itu, apalagi saat mencari rumah makan untuk sekedar bisa sahur. Tak ada rumah makan yang terlihat sepanjang jalan. Alhamdulillah hanya berbekal air putih saj, puasa tetap kami jalani. Berbuka di daerah Lampung.

Nah pagi itu hingga siang kami menikmati perjalanan Betung Sekayu ini dengan puas. Berbeda dengan waktu itu. Rerata jalanan masih baru diaspal, mulus. Hanya di beberapa titik saja yang terlihat rusak. Menyisiri sungat Musi yang lebar sepanjang jalan adalah suatu kenikmatan tersendiri. Ada kengerian juga melihat derasnya arus sungai saat itu. Dan di beberapa titik ada badan jalan yang amblas. Kalo tidak hati hati, fatal akibatnya.

Ada penambangan juga di beberapa tempat di tengah sungai ini. Airnya terlihat "butek" kekuning-kuningan. Namun dari kejauahan hutan terlihat sebagai batas sungainya. Hutan yang masih terjaga keasliannya.

Dan di beberapa lokasi terlihat beberapa penduduk setempat menjual hasil buminya, seperti durian, pete, madu dan ikan salais. Ikan salais adalah ikan yang diolah dengan pengasapan selama beberapa. Sumatra Selatan ini adalah salah satu sumber terbaiknya. Ikan Salais ini sangat cocok dan enak untuk digoreng balado ataupun digulai dengan "pucuak ubi".

Setelah tengah hari kami pun memasuki kota Sekayu, google map mengarahkan ke jalur Sekayu -Lubuk Linggau melalui terminal Randik. Pinggiran kota. Nama terminal ini unik bagi saya. Dan di sekitar jalan yang ditempuh dekat terminal ini ada masjid masjid bagus. Sayang waktu zuhur sudah berlalu, saya lanjutkan perjalanan ini berencana sholatnya nanti di Lubuk Linggau saja. Prakiraan sampai di sana sekitar jam empat sore.

Tanpa istirahat, jalur ini kami tempuh jalan ini dengan penuh keraguan. Setengah hati berharap tidak salah jalan. Tidak keluar di daerah Muara Enim. Saya pastikan pada Nova untuk setting di HP nya menuju Lubuk Linggau, sebagai comparator yang ada di HP saya. Alhamdulillah rute nya masih tetap sama, jam kesampaian di tujuan pun sama. Saya makin pede. Jalanan yang kami tempuh masih mirip, mulus dan menyisiri pinggiran sungai. Masih sungai yang sama, sungai yang sangat lebar dan airnya deras. Yang berbeda hanyalah posisinya sekarang sudah berada di sebelah kanan saya.

Beberapa spot jalan menuju Lubuk Linggau ini ada yang berlobang, kurang mulus. Waktu terasa lama karena sudah mulai jenuh hanya memandangi aliran sungai di sisi jalan dan hutan di kiri kanan jalan. Di beberapa tempat kami melewati perkampungan penduduk dan pasarnya. Menjelang jam empat sore itu kami agak lega, karena jalan lintas tengah sumatra sudah dekat. Itu artinya sebentar lagi akan memasuki kota Lubuk Linggau.

Di pertigaan jalan menuju Kota Lubuk Linggau, kami berhenti sebentar karena melihat ada yang jual durian di sisi sebelah kanan jalan. Transaksi sebentar, sang penjual memasukan ke mobil dua karung kecil berisi sebelas buah durian seharga 150.000,-. Sebelumnya sang penjual meminta saya mencoba satu durian yang telah dibuka, sedikit ada ulatnya tetapi rasanya sangat manis.

Sepanjang jalan aroma durian ini mulai menganggu. Menganggu hidung saya dan Nova. Dhifa belum tahu karena masih tertidur. Menjelang masuk kota Lubuk Linggau kami mengikuti arah google map melalui jalur lingkar luar. Agak memapas jarak dan waktu. Jalanan lebih kecil tetapi lebih lancar, hingga ketemu lagi di jalan lintas Lubuk Linggau - Sarolangun. Jalur trek lurus yang saya senangi.

Di salah satu SPBU yang biasa kami singgahi, kami rehat disini sejenak. Rehat buat kami dan buat mobil juga setelah menempuh perjalanan hampir tujuh jam lamanya. Saya sholat jamak di sini. Nova meminta untuk melanjutkan perjalanan karena tanggung kalo makan di sini. Kebetulan di SPBU ini ada rumah makannya juga.

Melanjutkan perjalanan di trek lurus ini sangat menyenangkan. Apalagi tubuh ini masih berbalut air wudhuk. Kecepatan mobil bisa saya pacu karena kondisi tubuh kembali bugar. Sore menjelang masuk kabupaten Sarolangun cuaca agak bersahabat, jalanan sepi. Durian dan duku berjejeran di pinggir jalan dijajakan penduduk setempat.

Menjelang maghrib, jam enam sore kami pun sampai di Kota Sarolangun. Saya yang terpaku melihat masjid yang ada selepas jembatan di kota ini. Saya menawarkan ke Nova untuk melakukan sholat maghrib dan makan malam di sekitar pasar dekat mesjid ini. Nova pun setuju.

Mobil saya belokan ke arah kiri, menuruni jalan dan berbelok ke kanan langsung menuju parkiran masjid yang luas. Masjid yang berada di pinggir sungai ini, berada di bawah badan jalan lintas tengah sumatra. Mesjid yang anggun. Masjid Al Fallah dekat Pasar Sarolangun. Gerimis sedari tadi masih mengiringi kami langkah kami memasuki mesjid ini dan baru reda ketika selesai sholat.

Selesai sholat, kami menuju pasar yang tak jauh dari sini. Makan malam dengan nasi soto dan Dhifa meminta indomie telur dengan nasinya. Sambil makan Nova menanyakan apakah ada penginapan yang bersih dan murah di sekitar masjid ini pada penjual soto. Nova tak ingin saya melanjutkan perjalanan malam ini dan meminta untuk istirahat saja. "Jangan paksakan diri", katanya.


Detail live report saat di kota Sarolangun ini saya tuliskan di FB saya; https://www.facebook.com/aryandi.ilyas/posts/10157738695569174


Selanjutnya kami menginap di "Losmen" RM Sinar Ogan yang posisinya telah kami lewati tadi. Harganya sangat bersahabat, murah, Rp. 175.000 semalam. Dengan kamar yang cukup besar, TV, berAC dan ada wifinya. Kami rehat di sini kira kira jam 20.30.

Penginapan yang bersih dan asri. Di sini kami mandi, rehat dan bercengkrama sejenak. Dan ujung ujungnya Dhifa minta durian juga. Saya yang menjaga stamina hanya mencicipi dua biji saja. Sekedar mencoba.

Tak lama berselang saya pun tertidur. Nova dan Dhifa tak tahu jam berapa mereka tertidur. saya betul betul rehat. Memulihkan stamina buat perjalanan besok.








2 komentar:

Car Free Day 15/09/2024

 Car Free Day  Minggu 15 September 2024 Sabtu siang Akbar, sepupunya Imam datang ke rumah. Dari kampus Untirta Sindang Sari Serang Banten be...