Jumat, 07 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 9) by Hayyun Zsavana

Tertimpa Reruntuhan Bangunan

Saya terus melangkah pelan. Menyusuri lorong rumah sakit.  Menuju ke  arah Utara.  Arah keluar RS. Lantai RS yang becek dan dipenuhi serpihan kaca,  memaksa saya harus berjalan perlahan.

Telapak kaki yang telah dipenuhi luka,  terasa seperti disayat-sayat.  Setiap tanpa sengaja menginjak tumpukan lumpur basah.

Ada 2 alternatif jalan  untuk keluar RS.

Berbelok ke kiri. Masuk ke ruang IGD. Lalu keluar melalui pintu Utara IGD. Langsung tembus di parkiran RS.

Tapi di tengah guncangan gempa  susulan yang belum juga berhenti,  alternatif ini sangat beresiko.  Hampir pasti pula akan sangat banyak pecahan beling di situ.  Situasi gelap yang demikian pekat di sekitar, juga akan semakin memperbesar resiko.

Akhirnya saya memilih alternatif jalan kedua.  Berbelok ke kanan beberapa langkah.  Lalu  ke kiri.  Melewati ruang pendaftaran dan front office RS. Tempat saya pagi tadi mendaftarkan Neng Susi sebagai pasien bersalin untuk operasi cesar.

Tepat ketika hendak berbelok ke kiri menuju front office,  saya hampir saja bertabrakan dengan sesosok bayangan tinggi besar.  Sosok yang tiba-tiba saja muncul. Entah dari mana datangnya.  Muncul seketika di hadapan.

Karena kaget,   refleks saya mundur selangkah.  Sambil memastikan itu bayangan apa.  Untunglah ternyata itu bayangan seorang Bapak.  Kebetulan posturnya memang tinggi besar.  Situasi yang gelap, agaknya  memberi efek pembesaran pada bayangan sosok tinggi besar itu.

Lega.

Bukan sesuatu yang berbahaya.  Sambil meneruskan langkah,  saya sempat menyapanya singkat:

"Mau ke dalam,  Pak?"

Tak jelas jawabannya apa.  Saya pun tak lagi fokus ke situ. Hal yang terpikir hanya bagaimana supaya segera mencari dan menemukan mereka.  Neng Susi,  Mama, Widi,  dan anak-anak.

Setelah Bapak itu berlalu,  saya melanjutkan langkah.  Memasuki area front office RS.  Melewati meja resepsionis dan tempat pendaftaran pasien.

Meski tak segelap di dalam,  suasana di situ tak bisa  dibilang terang.  Kegelapan masih menyelimuti.

Kedua ujung ruangan itu, sebenarrnya merupakan bagian gedung yang terbuka.  Tanpa pintu.  Baik ujung Utara yang menjadi akses masuk utama pengunjung.  Demikian juga ujung Selatannya.  Namun tetap saja suasana gelap masih mencekam.

Ada keheningan yang aneh ketika  melewati ruangan itu.

Di balik tembok RS sebelah Timur, entah kenapa terasa begitu sunyi.

Hening.

Tapi itu kesunyian yang tak biasa.  Keheningan yang lain.  Aneh saja rasanya. Tapi entah apa.

Saya tak mampu lagi bernalar dengan baik. Fisik yang lelah.  Lapar yang mendera.  Rasa haus yang menyengat kerongkongan. Sejak dari lantai dua RS,  sepertinya semakin menggerogoti kekuatan dan kesadaran.

Tapi saya terus berusaha melangkah.  Kali ini bukan saja sekedar pelan.  Tapi dengan langkah yang mulai goyah.

Gontai. 

Kedua kaki rasanya seperti bergetar-getar ketika diangkat untuk melangkah.

Tapi ingatan pada Neng Susi,  Si Dede bayi,  Mama,  Widi,  dan anak-anak,  memaksa saya untuk terus melangkah.

Saya harus segera menemukan mereka.  Bagaimanapun caranya.  Entah bagaimanapun keadaannya.

Dengan langkah sempoyongan, saya terus berjalan.  Sekitar 3 atau 4 langkah sebelum mencapai teras luar RS, hampir saja  saya  terjatuh. Terantuk pecahan tehel.  Untunglah saya masih dapat menjaga keseimbangan.  Hingga tak sampai terjatuh di lantai yang sangat mungkin juga dipenuhi pecahan beling.

Pada langkah berikutnya,  akhirnya saya tiba di teras luar RS.  Teras sebelah Timur.  Tepat di belakang Pos Keamanan yang menghadap ke Jalan H. M.  Soeharto.

Situasi di luar RS,  memang tak sepekat di dalam. Namun kegelapan tetap saja mendominasi.

Dari atas teras itu,  samar-samar terlihat beberapa bayangan benda.  Pandangan saya langsung tertuju ke area parkiran mobil.  Di depan Pos Keamanan.  Di situ sore tadi saya memarkir mobil.  Agak lega rasanya. Ketika  masih terlihat bayangan sebuah mobil.

Meski sepenuhnya terselimuti kegelapan,  tapi sepertinya mobil itu tidak apa-apa.  Masih aman di tempatnya semula.  Ada beberapa bayangan mobil lain, ikut terparkir di kiri dan kanannya.  Masing-masing tetap di tempat semula.

Keadaan di parkiran mobil itu,  berbeda sekali dengan di parkiran motor.  Parkiran yang berada tepat di depan ruang IGD itu, sungguh berantakan.

Dari tempat saya berdiri,  nampak bayangan puluhan motor dalam keadaan kacau balau.  Tak ada satupun lagi  yang berada di tempatnya   semula.  Semua bergeser jauh.  Bahkan ada yang sampai menabrak dinding sebelah Barat IGD.  Sebagian lain, malah berjatuhan saling tindih.

Baru saja hendak menuruni teras RS, sekonyong-konyong terdengar suara seseorang berteriak.

"Tolong !! Tolong !! Tolong!!"

Di seberang jalan depan RS,  terlihat sesosok bayangan. Nampak bergegas ke arah saya yang saat itu masih dengan langkah gontai berusaha menyeberangi area parkiran motor.

"Pak tolong, Pak,  tolong!!!",

Suara seorang laki-laki.

Kurang lebih seusia saya.  Dengan nafas memburu dia terus berbicara tanpa memberi kesempatan saya bereaksi.

"Tolong pak,  tolong!!. Ibu kami tertimpa bangunan teras rumah. Tidak ada orang yang mau bantu Pak.  Semua orang lari ketakutan. Tolong kami pak!!!".

Saya tak mampu lagi berkata-kata.  Situasi di depan RS itu ternyata memang sunyi.  Rupanya semua orang berfokus untuk menyelamatkan diri masing-masing.  Lari dari kejaran lumpur,  yang datang begitu tiba-tiba.  Tak sempat lagi berfikir untuk membantu orang lain.  Masing-masing sibuk dengan keselamatan diri sendiri.

Pikiran sayapun saat itu seketika terpecah.

Memilih membantu orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Terancam kehilangan  nyawa. Hanya beberapa meter di depan saya.  Atau menolak dengan alasan kalau saya juga harus segera mencari dan menyelamatkan keluarga sendiri.  Mereka yang mungkin keadaannya jauh lebih parah dari ibu yang tertimpa runtuhan teras rumahnya itu.

Tapi yang saya lakukan,  akhirnya menyeberang jalan H.M. Soeharto.  Mengikuti bayangan laki-laki di depan.   Menuju bayangan samar tumpukan benda di depan sebuah rumah.  Tepat di Depan RS.  Agak ke kiri.

Setibanya di depan halaman rumah itu,  nampaklah sebuah pemandangan yang sangat miris.  Sekaligus mengerikan.

Teras rumah itu rupanya benar-benar runtuh.

Rubuh.

Ambruk total.

Di bagian paling atas runtuhan,  seng-seng atapnya berserakan malang melintang.

"Pak tolong,  Pak!!!"

Kali ini suara seorang laki-laki lainnya yang berbicara.

Rupanya ada 3 orang di tempat itu. Sepertinya mereka 3 bersaudara.   Laki-laki yang tadi pertama mendatangi saya dan yang baru saja meminta tolong.  Satu lagi seorang perempuan.  Darinya terdengar suara sesengukan tertahan.

Belum sempat saya bertanya,  laki-laki yang baru saja berbicara,  melanjutkan:

"Ada ibu kami di bawah, Pak".

Katanya memelas sambil menunjuk tumpukan seng yang berserakan di hadapan kami.

"Tadi ketika gempa, dia baru saja datang.  Belum sempat turun dari motor. Tiba-tiba gempa dan teras rumah langsung roboh.  Ibu sepertinya tertimpa motornya juga. Tadi ada banyak orang yang berlari lewat sini.  Tapi tidak ada yang berhenti waktu dimintai tolong."

Mendengar itu, tanpa pikir panjang,  saya langsung mengajak mereka bergerak.

"Ayo.  Kita angkat seng-sengnya!!!".

Bertiga kami bergerak.  Maksudnya hendak menyingkirkan tumpukan seng yang berserakan memenuhi hampir seluruh permukaan halaman rumah.

Perempuan yang tadi sesengukan juga ikut bergerak. Masih dengan suara tangis tertahan.  Sambil bergumam lirih:

"Mama,  Mama,  tunggu Mama. Kami akan menyelamatkan Mama".

Usaha untuk menyingkirkan seng-seng itu,  ternyata bukan perkara mudah.  Ternyata di bawah seng itu,  sebatang beton reng balak besar melintang panjang.  Beton reng balak inilah rupanya yang menimpa ibu dengan motornya itu.

Tanpa sempat menyelamatkan diri,  ibu itu tertimpa jatuh dengan posisi tertindih motor yang baru saja dinaikinya.  Di atas motor itu kini sebuah beton reng balak  sangat berat melintang dan menindih.

Posisi dan keadaan ibu itu sendiri,  sama sekali tak bisa terlihat.  Sepenuhnya tertutupi tumpukan seng.

Tak ada jalan lain,  kami harus menyingkirkan reng balak itu terlebih dahulu.  Setelah menyingkirkan beberapa lembar seng untuk mendapat pegangan yang bagus,  kami berusaha mengangkat beton itu.

Tapi itu terlalu berat buat kami bertiga.  Sesentipun beton yang besarnya sepelukan orang dewasa itu,  tak bergerak.

Saya sendiri hanya bisa berbicara sekedarnya.  Tak punya lagi tenaga yang cukup untuk mengangkat beban seberat itu.  Itupun  masih berusaha sekuat daya yang tersisa terus berusaha membantu.

Melihat kami tak bisa menyingkirkan beton itu meskipun sudah beberapa kali berusaha,  tangis perempuan yang tadinya tertahan,  kini pecah.  Berubah menjadikan teriakan tangis histeris:

"Mama!! Mama!!  jangan pergi!!  Kakak!! bagaimana Mama!!  kasian Mama!! tolong Mama!!"

Hati saya benar-benar tersentuh mendengar tangis dan teriakan menyayat hati itu.

Teriakan perempuan itu,  serta merta pula mengingatkan saya pada teriakan tangis histeris dari perempuan di balik tembok Selatan RS. Teriakan  yang sangat mirip suara Neng Susi.

Bayangan mengerikan akan kehilangan salah satu atau seluruh anggota keluarga,  kembali mencekam perasaan dengan sangat kuatnya. Bila benar itu terjadi,  keadaan Neng Susi dan yang lainnya pasti lebih parah.

Entah tertimbun langsung di bawah gunungan lumpur.  Bisa juga tertimpa bangunan rubuh karena tak sanggup menahan terjangan lumpur.

Si Dede.
Bayi cantik kami yang baru lahir itu,  bagaimana kini keadaannya.

Masihkah dapat dipertemukan lagi setelah sesaat tadi sempat memeluknya.

Rangga.
Sanggupkah dia lari dari kejaran lumpur?

Inka.
Di mana dirimu sekarang, Nak?

Mama.

Widi.

Satu persatu wajah mereka melintas.

Tanpa sadar air mata kembali meleleh.  Meleleh begitu saja. Membuat Saya menangis dalam diam.

Tapi itu hanya sesaat.

Ibu yang berada di bawah reruntuhan  harus segera diselamatkan.  Berpikir begitu,  dengan suara agak bindeng,  saya berkata:

"Jangan diangkat betonnya.  Coba kita geser saja. Ayo kita geser ke arah Utara. Bapak berdua tarik dari arah sana.  Saya dorong dari sini".

Benar saja.  Cara itu segera menunjukkan hasil.  Meskipun tak seberapa jauh, beton reng balak itu akhirnya dapat bergeser.

Begitu beton itu bergeser,  salah satu dari laki-laki itu segera melompat.  Memasukkan tangannya ke bawah reruntuhan di balik tumpukan seng. Lalu seketika dia berseru keras.  Antara teriakan panik dan gembira:

"Ini.  Ini tangan Mama.  Dapat tangannya. Tangannya masih bergerak.  Mama masih hidup.  Mama masih hidup!!! ".

Ada harapan besar di nada suaranya.

Tak puas dengan itu dia lalu memanggil-manggil sang ibu.  Kali ini dengan suara serak.

Kini ada nada tangis terdengar:

"Mama!! Mama!!".

Dia memangil-manggil ibunya.

Hening.

Tak ada jawaban.

"Mama!!  Mama!!"

Laki-laki itu terus memanggil-manggil dalam panik dan tangis.

#Bersambung_ke_Part_10
#Pencarian_Sia_Sia
#Link_Part_1

https://m.facebook.com/groups/455987668477569?view=permalink&id=652926458783688

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...