Rabu, 05 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 5) by Hayyun Zsavana

Bayi Itu Bukan Si Dede

Pukul 18.05 WITA.
3 menit sesudah gempa.
5-10 menit sebelum terjangan lumpur likuifaksi.

Kami berlima.
Berlari sekencangnya ke lapangan terbuka. Di sebelah Timur RSlA Nasana Pura.  Tempat tujuan  hampir seluruh penghuni RS. Menyelamatkan diri dari kemungkinan tertimpa reruntuhan bangunan.  Akibat gempa yang guncangannya begitu dahsyat.  Kurang dari 3 menit sebelumnya.

Entah mengapa.
Ketika  guncangan pertama terjadi. Saat saya bersama Mama seketika terjatuh di lorong RS. Tak sedikitpun saya teringat si Dede bayi. Yang sedang di ruang perawatannya.  Di lantai 2 RSIA Nasana Pura.

Saya benar-benar hanya fokus untuk secepatnya menyelamatkan Mama.  Membawanya ke tempat aman.  Lalu sesegera mungkin mengevakuasi Neng Susi,  Inka, Rangga,  dan Widi. Dari kamar perawatan lantai 1. Ke tempat paling aman.

Hingga,  seketika guncangan mereda,  dan Mama diselamatkan ke lapangan terbuka,   saya seperti kesetanan berlari ke arah dalam.  Menuju kamar perawatan lantai 1.

Ketika berlima kami  berlari menuju lapangan terbuka itupun, anehnya,  tak sedikitpun saya teringat dengan si Dede bayi di lantai 2.

Saat tiba di lapangan terbuka,  penghuni RS lainnya telah banyak berkumpul.  Dalam suasana penuh kepanikan. Hiruk pikuk dengan teriakan-teriakan dari segala arah. Dari arah kelurahan Petobo,  saya melihat seperti ada jilatan api di udara.  Saya sempat memberitahu Neng Susi sambil menunjuk ke arah Timur. Agak ke Selatan:

"Ada rumah kebakaran"

Beberapa orang juga ikut berteriak:

"Kebakaran!!! Kebakaran!!!".

Pemandangan dan teriakan-teriakan itu, membuat suasana kepanikan berubah menjadi terasa mencekam.

Di tengah suasana seperti itu, tiba-tiba saya tersentak. Rasa lega yang sesaat tadi sempat terasa, karena berhasil mengevakuasi seluruh keluarga,   seketika berubah menjadi kepanikan baru.  Kepanikan disertai rasa kuatir yang teramat sangat.  Bagaimana tidak,  bersamaan dengan tibanya kami di lapangan,   Neng Susi tiba-tiba berkata.  Setengah berteriak.  Menimpali suara hiruk pikuk di sekitar kami.

"Ayah,  si Dede di atas".

Saya hanya menoleh sesaat padanya.  Entah bagaimana ekpresi wajah  saya seketika itu.  Panik dan kuatir yang begitu besar  bercampur jadi satu.  Seketika saya ingat. Si Dede Bayi yang sejak pagi hingga jelang malam kami tunggu-tunggu kedatangannya, sampai sejauh ini belum bersama kami.

Seketika itu juga,  tak menunggu diingatkan kedua kalinya,  saya segera balik kanan.  Seperti orang kesetanan berlari ke lantai atas. Berlari sekencang-kencangnya.  Menuju kamar perawatan bayi.  Tanpa alas kaki.  Alas kaki saya sudah dipakai Neng Susi.  Sesaat lalu saya berikan padanya.  Alas kakinya sendiri, tak tau lagi di mana.  Tak sempat lagi terpikirkan ketika berlari dari kamar perawatan tadi.

Saya berlari sekencangnya.  Beberapa kali hampir bertabrakan dengan penghuni RS lain. Yang sedang berlari ke arah sebaliknya.  Itupun laju langkah saya masih sempat pula terhambat.  Oleh sebuah tempat tidur pasien.  Yang sedang didorong  setengah paksa oleh  seorang Bapak. Menuju lapangan terbuka tempat mula saya tadi berlari.

Sekilas terlintas kembali ibu yang beberapa saat lalu terjatuh. Di depan kamar perawatan Neng Susi.  Yang mungkin baru saja  selesai operasi itu. Yang rambutnya awut-awutan itu.   Yang masih dengan selang dan botol infus melekat di lengannya itu.  Yang  selang kateter kelihatan  menongol di ujung bawah sarungnya itu.  Mugkin tempat tidur yang sedang didorong dan menghambat laju lari saya ini,  untuk ibu itu.

Si Bapak berusaha sekuat tenaga mendorong tempat tidur pasien tersebut.  Kelihatan sekali rona kepanikan di wajahnya.  Tapi dia agaknya mengalami kesulitan.  Dia tidak dapat meloloskan tempat tidur  melewati lorong di antara dua tiang. Yang menjadi jalan utama menuju lapangan terbuka sebelah Timur RS.

Mungkin karena rasa panik yang begitu besar.  Mungkin juga karena jarak di antara kedua tiang terlalu sempit. Sehingga tidak bisa dilewati oleh tempat tidur pasien itu.

Beberapa orang dengan wajah tak kurang paniknya,  berusaha ikut membantu.  Tapi tetap saja mereka kesulitan meloloskannya.

Karena tak mau kehilangan banyak waktu,  saya tak mau lagi nenunggu.  Saya mengambil jalan di lorong kecil sebelah kanan.  Terus berlari ke lantai atas.

Benar-benar di pikiran saya  hanya tertuju pada si Dede. Hanya berfikir supaya secepatnya sampai ke ruang perawatan bayi.  Menyelamatkan si Dede yang belum diketahui bagaimana kondisinya.

Segala bayangan buruk yang  terlintas liar,  hanya membuat laju lari saya semakin menggila.  Menaiki tangga. Menuju lantai 2 RSIA Nasana Pura.

Sampai-sampai tak terpikir lagi untuk  ikut membantu Bapak yang kesulitan mendorong tempat tidur pasien tadi.

Sampai-sampai tak perduli lagi dengan pecahan   beling.  Yang bertebaran di sana-sini. Tak terasa lagi berapa kali telapak kaki saya yang tanpa alas tertusuk pecahan beling.

Saya tidak perduli.  Yang penting secepatnya saya harus menemukan dan menyelamatkan si Dede.

Saya akhirnya tiba di ruang perawatan bayi.  Situasi di situ sangat kacau.  Berantakan.  Beberapa perawat berlarian.  Masing-masing dengan bayi  di gendongan. 

Boks-boks bayi nampak saling bertabrakan. Tak lagi tertata rapi dengan jarak tertentu seperti pagi tadi.  Ketika membawakan perlengkapan bayi buat si Dede. Yang  sekalian menjenguknya itu.

Inkubator-inkubator di ruang perawatan khusus sudah bergeser dari tempatnya semula. Sebuah tabung oksigen juga  jatuh terguling di lantai.

Tak ada lagi bayi di situ.

Hal pertama yang saya lakukan setibanya di situ,  tentu saja langsung memeriksa boks bayi. Tempat si Dede mestinya berada.

Kosong.

Si Dede tidak ada di boksnya.

Saya makin panik.  Satu persatu boks bayi yang berantakan,  saya periksa lagi.

Kosong juga.

Tak ada satupun bayi di situ.

Tak puas sekedar memeriksa boks bayi,  saya lalu memeriksa meja tempat penyimpanan perlengkapan bayi.  Tentu saja tak ada bayi di situ. Apalagi si Dede.  Pasti tak ada. 

Di situ saya hanya menemukan seperangkat perlengkapan bayi.  Sepasang bantal, guling, dot,  susu formula, pernel, pampers  dan beberapa potong popok.

Itu punya si Dede.  Yang saya antarkan tadi pagi.

Tapi si Dedenya  tidak ada.

Menemukan kenyataaan Dede tidak ada di situ, membuat bayangan akan kehilangan putri ketiga kami itu tiba-tiba menyeruak. Bayangan mengerikan itu membuat kepanikan dan kekhawatiran saya semakin bertambah-tambah.

Saya segera berlari keluar.  Tujuan saya mencari seorang suster. Atau  siapapun yang saya anggap bertanggungjawab di ruangan itu.  Saya melihat seorang suster yang baru saja hendak turun ke bawah. Saya berteriak dalam kepanikan tak terkira:

"Suster,  bagaimana dengan bayi-bayi di sini".

Suster itu dengan tergopoh-gopoh menjawab:

"Sudah pak!!"
"Sudah apa suster", seketika saya  menyergah.

"Sudah diangkat semua ke bawah".

Karena masih tak yakin bercampur rasa takut yang sangat akan kehilangan si Dede,  saya menarik tangan suster.

"Mari suster,  kita periksa sekali lagi semua boks bayi. Jangan sampai masih ada bayi yang ketinggalan".

Mungkin karena iba melihat wajah saya yang begitu kalut, kacau,  lagi penuh pengharapan,  suster itu ikut saja ketika saya tarik tangannya.  Sambil berlari kami masuk kembali ke ruang perawatan bayi.  Sekali lagi boks-boks bayi kami periksa.

Tak ada satupun bayi.

Masih tak puas dengan sekedar memeriksa boks, setengah  tengkurap saya memeriksa lantai di bawah boks-boks bayi. Mungkin saja ada bayi yang terjatuh karena guncangan besar tadi.  Dan belum sempat diselamatkan.  Siapa tau juga bayi yang jatuh itu,  malah si Dede.

Tidak ada.

Lantai di bawah boks juga kosong.  Tak ada satupun bayi.  Hanya beberapa tas perlengkapan bayi yang isinya sudah tercecer di beberapa bagian lantai .

"Tidak ada lagi bayi pak.  Sudah kosong semua". Kata suster itu meyakinkan saya.

Kami lalu keluar.  Bayangan akan  kehilangan si Dede semakin menakuti saya. Saya harus segera kembali ke lapangan terbuka di sebelah Timur RS.

Mungkin si Dede ada di situ.

Diselamatkan entah oleh suster yang mana.  Atau oleh sesama penghuni RS.  Entah oleh siapa.  Yang pasti saya harus segera menemukannya.

Di tengah situasi kacau dan penuh kepanikan itu. Baru saja hendak turun ke lantai bawah,  saya melewati seorang suster.  Di gendongannya nampak  sesosok bayi.  Suster itu agak kesulitan berlari menuruni tangga dengan bayi di gendongannya.

Tak pikir panjang saya meminta bayi itu.  Mengambil alih menggendongnya.  Membawanya berlari ke lantai bawah.  Menuju lapangan terbuka tempat orang-orang sudah ramai sejak tadi. Berkumpul menyelamatkan diri.

Sambil berlari saya sempat melirik wajah si bayi.  Mirip si Dede.  Saya membatin.  Setengah berharap.  Kalau  bayi itu benar-benar si Dede.

Tiba di lantai bawah, jalan di antara 2 tiang tepat di sebelah Timur tangga turun masih  tak bisa dilewati.  Masih tertutup oleh tempat tidur pasien.  Yang ketika saya berlari naik tadi,  sedang di dorong oleh seorang bapak bersama beberapa orang lainnya.  Rupanya mereka tak berhasil  membawa tempat tidur itu ke lapangan.

Saya berlari ke samping kiri.  Melewati lorong lebih kecil  di samping selatan dua tiang itu.  Bersama bayi dalam  gendongan. Yang mirip si Dede.

Tiba di lapangan saya segera menuju tempat Neng Susi dan yang lain berkumpul. Melihat saya akhirnya datang dengan menggendong sesosok bayi,  Neng Susi serta merta bertanya.  Dengan wajah nampak lega. Sekaligus penuh harap.  Seperti yakin betul kalau saya berhasil menyelamatkan si Dede.  Seperti yakin betul kalau bayi di gendongan saya,   benar-benar si Dede.

"Itu Dede, Ayah?".

Mendengar Neng Susi bertanya begitu,  saya hanya bisa melongo.   Tidak bisa langsung menjawab.  Karena memang belum tau pasti apakah itu benar-benar si  Dede atau tidak.

Ketika berlari tadi, saya tak sempat lagi berfikir untuk memeriksa gelang identitas di lengan si bayi.  Saya hanya yakin kalau itu benar-benar si Dede.  Karena ketika meliriknya sekilas sambil berlari dari lantai atas tadi,  di mata saya,  bayi itu sangat mirip dengan si Dede.  Tapi karena berfikir untuk secepatnya kembali ke lapangan terbuka,  saya tak sempat lagi memeriksa nama di gelang identitasnya.

Tak menjawab pertanyaan Neng Susi,  Saya malah segera memeriksa gelang identitas bayi.  Dengan hati berdebar-debar saya buka selimutnya.  Penuh harap kalau itu benar-benar si Dede.  Tapi suara Neng Susi segera menyadarkan saya.

"Bukan Dede, Ayah. Itu bukan nama saya.Harusnya di situ tertulis:

'BY: Ny.  Susi Susilawati'.

Seluruh tubuh saya seketika terasa lunglai.  Tiba-tiba saya merasa begitu lelah.  Letih yang amat sangat.  Hal yang sedikitpun tak saya rasakan ketika tadi belari ke sana ke mari.

Pukul 18.10 WITA.

8 Menit sesudah gempa.

Kurang  5 menit sebelum terjangan lumpur likuifaksi. 

Cahaya matahari semakin meredup.  Gelap malam akan segera  tiba. Si Dede belum lagi bersama kami.  Bayi yang saya gendong dari lantai atas,   bukan si Dede.

Si Dede entah di mana.

Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-6-by.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Car Free Day 15/09/2024

 Car Free Day  Minggu 15 September 2024 Sabtu siang Akbar, sepupunya Imam datang ke rumah. Dari kampus Untirta Sindang Sari Serang Banten be...