Rabu, 05 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 3) by Hayyun Zsavana

RS Nasana Pura: 5 Menit Sebelum Gempa

Itu benar-benar hari yang sangat mencekam. Bagi kami sekeluarga. Bagi seluruh pasien. Keluarga pasien. Seluruh pengunjung RSIA Nasana Pura. Pasti juga bagi seluruh masyarakat Kota Palu, Donggala, dan Sigi. Tiga daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang mengalami dampak terparah oleh tiga rangkaian bencana dahsyat. Gempa, tsunami, dan likuifaksi. Yang datang hampir bersamaan.

Begitu tiba-tiba.

Tanpa pula di sangka-sangka.

Di hari naas itu. Jum'at, 28 September 2018.
Di hari yang sangat mencekam itu, benar-benar hanya kuasa ilahi yang memungkinkan siapapun bisa selamat. Salah mengambil keputusan sedikit saja, taruhannya kehilangan nyawa. Salah arah ketika berlari, akibatnya fatal. Bisa tertimbun lumpur atau tertimpa runtuhan bangunan.

Siapapun yang pernah merasakan guncangan gempa bermagnitudo 7,4 SR, seperti hari itu, hampir pasti berfikir, mungkin dunia sudah akan kiamat. Itupula yang sempat terlintas di benak saya ketika itu.

Betapa dahsyatnya guncangan itu.

Begitulah. Hari itu. Tepat jam 11.15. Anak ketiga saya lahir. Perempuan. Melalui rangkaian proses yang dramatis. Di RS Ibu dan Anak Nasana Pura. RS yang beberapa jam kemudian menjadi saksi gempa dahsyat dan terjangan lumpur likuifaksi dari Kelurahan Petobo.

RS itu sendiri, berada di wilayah Kelurahan Petobo. Di ujung paling Barat. Hanya sekitar 50 meter dari Jalan Dewi Sartika. Ke arah Timur. Ini jalan poros yang menghubungkan dua wilayah di Sulawesi Tengah. Kota Palu dan Kabupaten Sigi.

Kejadian-kejadian sesudah kelahiran putri ketiga saya itu, awalnya berjalan wajar. Berlangsung seperti biasa saja. Normal saja. Kepanikan dan kecemasan berganti rasa lega dan gembira.

Tak terkira senangnya.

Betapa tidak, proses persalinan yang tadinya direncanakan melalui operasi cesar, malah bayinya lahir normal.

Operasi yang dijadwalkan jam 13.00 di hari Jum'at itu, batal dengan sendirinya. Bayinya keburu lahir. Tepat dua jam sebelum operasi.

Segera setelah lahir, bayi perempuan itu diambil oleh seorang suster jaga. Dibawa untuk dibersihkan. Seingat saya, tak sampai 5 menit, diperlihatkan lagi kepada kami. Sudah dalam keadaan bersih. Sudah pula dibedong.

Berikutnya, oleh suster kami diajak memeriksa kondisi fisik bayi. Agaknya ini prosedur standar. Mungkin berlaku di seluruh RS atau Poli Bersalin. Seluruh organ fisiknya diperiksa bersama. Ada tidak yang bermasalah. Pendeknya dari ujung kepala sampai kaki.

Kesimpulannya kondisi fisik bayi normal. Tidak ada cacat. Timbangannya pun terbilang normal. 2,9 kg. Tidak perlu perawatan khusus. Tidak perlu masuk inkubator.

Tak terkira senangnya. Semuanya selamat. Ibunya selamat. Bayinya pun selamat. Tak cacat pula.

Setelah semuanya beres, bayi cantik itu oleh suster dibawa ke ruang perawatan. Setelah terlebih dahulu diberi gelang identitas. Semua bayi di RS itu memang diberi gelang identitas. Yang di bagian atasnya terdapat tulisan "BY". Diikuti nama ibunya. Itu tentu karena bayinya belum punya nama.

Jadi di gelang itu bertuliskan :

"BY. Ny. Susi Susilawati."

Tak disangka, 6 jam kemudian gelang kecil itu menjadi sangat penting artinya bagi kami.
Setelah sempat saya azani, bayi mungil kami itupun oleh suster dibawa ke ruang perawatan. Di lantai dua.

Tak lama sesudah itu, ibunya pun dipindahkan ke ruang perawatan. Di lantai satu.

Semuanya berjalan normal. Biasa-biasa saja.

Lepas jum'at, saya masih sempat ke kantor BPJS. Di jalan Sisingamaraja. Sekitar 7 km dari RS Nasana Pura. Mengurus tanggungan BPJS si bayi tentunya. Sekitar 1 jam lamanya saya di BPJS. Dari jam 14.00 WITA sampai jam 15.00 WITA lewat sedikit.

Ketika di BPJS itulah gempa pertama terjadi. Posisi saya ketika itu baru saja hendak kembali ke RS. Sudah di dalam mobil. Baru saja akan menghidupkan mesin. Sekonyong-konyong mobil terasa seperti bergoyang. Lumayan kencang. Tapi saya tak terlalu hirau. karena menyangka itu hanya akibat tekanan angin dari sebua mobil truck besar yang baru saja lewat dengan kecepatan tinggi.

Menyangka demikian sayapun santai saja. Bahkan setelah tau kalau goyangan itu akibat gempa bermagnitudo 5,9 SR, saya juga tidak risau sama sekali. Mungkin karena beberapa tahun sebelumnya, sudah merasakan gempa dengan guncangan lebih besar.

Info tentang gempa pertama itupun, saya peroleh dari Neng Susi. Yang tak sampai satu menit setelahnya, sudah menelpon saya. Memberi tau kalau barusan ada gempa. Saya hanya memberi respon sekedarnya saja. Hanya menanyakan situasi di RS. Karena dijawab semua baik-baik saja, saya malah menanyakan si Dede bayinya. Sudah dibawa turun ke ruang perawatan ibunya atau belum. Maklum penasaran. Pengen cepat-cepat menggendongnya. Pengennya begitu tiba di RS, Dede bayinya sudah ada bersama ibunya.

Dari BPJS saya segera kembali ke RS. Ya, itu tadi. Pengen segera ketemu bayinya. Supaya cepat sampai, saya mengambil jalan potong. Dari jalan Sisingamaraja, belok kiri ke jalan Veteran. Tembus ke jalan Garuda. Menyeberang perempatan AR. Saleh. Lalu di depan Hotel Sutan Raja, belok kiri ke jalan tanggul. Terus ke Selatan. Lalu belok kanan melewati Islamic Center. Ini sudah memasuki wilayah Kelurahan Petobo.

Itu sudah hampir jam 15.30. Kurang 2 jam setengah sebelum kejadian.

Setibanya di Jalan HM. Soeharto, sekira 200 meter sebelum RS, saya sempat berhenti. Sekitar 15 menit lamanya. Menerima telpon dari seorang kawan.

Kurang 15 menit jam 16.00 WITA, saya tiba di RS. Langsung ke ruang perawatan lantai satu.

Bayinya ternyata belum ada.

Belum dibawa turun dari ruang perawatannya. Di lantai dua.

Karena tidak sabar, saya langsung menanyakannya ke perawat jaga. Kenapa bayinya belum dibawa ke ibunya.

Dijawab, sebentar lagi akan segera diantarkan.

Padahal itu kali ketiga hal yang sama saya tanyakan. Saking tidak sabarnya ingin segera dekat-dekat dengan si Dede bayi.

Sebelum ke BPJS saya memang sudah 2 kali menanyakan itu. Malah karena tidak sabar, saya sempat menjenguk langsung si Dede. Di lantai dua. Di ruang perawatannya itu. Masih di dalam box bayi. Itu saja sudah tak terkira girangnya. Tapi tetap juga tak bisa menghilangkan rasa penasaran. Untuk segera berdekat-dekatan dengan si Dede. Masih sempat pula setelah itu, dua kali saya kembali naik ke ruang perawatan bayi itu.

Pertama, mengantarkan adik pertama saya, Hayya. Yang juga penasaran ingin segera melihat ponakan barunya.

Kedua, lagi-lagi untuk memenuhi permintaan untuk mengantar. Kali ini dua orang sekaligus. Inka , putri pertama saya itu, dan Widi. Adik saya paling bontot. Dua-duanya gagal. Tak diizinkan masuk.

“Bukan jam besuk”, kata suster jaga.

Ya sudah. Tunggu saja. Nanti juga Dede bayinya diantar. Biarpun rasa penasaran sudah melampaui ubun-uban.

Ketika tiba di RS, jam 16.15 itu. Dua jam sebelum kejadian, di ruang perawatan suasana sudah ramai. Sudah ada 4 orang. Neng Susi yang masih lemes paska bersalin. Mama yang dari awal setia menemani. Plus Widi dan Inka yang tiba beberapa saat sebelumnya. Boncengan motor berdua.

Sambil menunggu kedatangan si Dede bayi, kami menghabiskan waktu dengan ngobrol. Suasananya gayeng. Penuh canda. Rame dan seru. Sampai yang masih lemes, yang baru habis melahirkanpun ikut tertawa-tawa. Sambil sesekali masih meringis. Maklum, sedang gembira menyambut anggota baru. Si Dede bayi yang dengan rasa penasaran, dengan kuota kesabaran sudah hampir habis, sedang ditunggu-tunggu kedatangannya.

Sekitar 30 menit kemudian, Rangga, putra kedua kami, ikut bergabung. Langsung dari sekolahnya. SMP al-Azhar. Tak lagi pulang ke rumah. Di Kawatuna. Rumah sejak pagi sudah kosong.

Kedatangan Rangga melengkapi jumlah kami. Menjadi 7 orang. 6 orang yang sedang menunggu si Dede bayi di ruang perawatan bundanya. Di lantai 1. Plus si Dede bayi yang masih juga belum dibawa turun dari lantai dua.

Itu sudah 17.57.

Kurang 5 menit sebelum kejadian. Jelang maghrib. Kami semua masih mengobrol di kamar. Si Dede bayi belum juga bersama kami. Masih di ruang perawatan bayi. Yang di lantai 2 itu. Bersama puluhan bayi lainnya. Yang sebagiannya dalam perawatan khusus. Di dalam inkubator.

Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-4-by.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...