Bayangan Hitam yang Mengancam
Pukul 18.20 WITA.
Kurang lebih.
13 menit setelah gempa.
5 menit setelah terjangan lumpur.
Saya duduk terhenyak. Sendirian. Di lantai 2 RSIA Nasana Pura. Dalam gelap. Begitu pekat. Kepekatan yang makin bertambah-tambah. Oleh bayangan-bayangan mengerikan. Setelah mendengar tangis histeris seorang perempuan. Yang sangat mirip dengan suara Neng Susi.
Bayangan akan kehilangan si Dede beberapa menit yang lalu sudah begitu menakutkan. Kini sesuatu yang jauh lebih menakutkan, malah menghantui. Lebih mencekam. Lebih mengerikan. Sebab terancam kehilangan bukan saja si Dede. Tapi seluruh anggota keluarga.
Tangis histeris itu benar-benar menghantui pikiran. Tangis itu pasti terjadi karena sesuatu yang buruk. Mungkin karena salah satu atau beberapa anggota keluarga telah menjadi korban. Ikut digulung lumpur. Yang datang menerjang setinggi atap rumah. Dari arah Timur RS.
Sementara gedung RS itu, masih terus bergoyang. Oleh guncangan-guncangan gempa susulan yang terus datang secara periodik. Kadang guncangannya kecil. Beberapa malah cukup besar. Tapi tak ada sedikitpun lagi ada rasa takut tersisa untuk itu. Tidak pula pada terjangan lumpur dari manapun. Pun bila tiba-tiba gedung RS runtuh.
Sama sekali tak lagi menakutkan.
Saya bahkan tak perduli lagi dengan keselamatan diri sendiri. Bukan ketakutan sejenis itu lagi yang kini terasa. Tapi ketakutan yang lebih besar. Lebih mengerikan. Ketakutan yang benar-benar menakutkan. Ketakutan akan kehilangan semua orang yang dicintai. Karena menjadi korban terjangan lumpur. Beberapa saat lalu.
Tapi bagaimanapun keadaannya, saya harus segera menemukan mereka. Harus segera mencari mereka. Apapun yang telah terjadi. Apapun keadaannya. Entah bagaimanapun caranya.
Harus.
Segera.
Berpikir seperti itu, saya pelan-pelan beranjak berdiri. Meskipun terasa begitu lelah. Seluruh persendian terasa lemas. Letih tak terkira. Belum lagi kerongkongan sejak tadi seperti tercekat. Kering. Didera haus teramat sangat. Ludahpun sudah terasa pahit saat ditelan.
Pada detik itu, barulah teringat. Kalau seharian tadi, saya telah melewatkan makan siang. Iya. Baru teringat. Sarapan bubur dan kacang ijo di rumah Mama. Jam 06 lewat. Sebelum ke RS. Itulah makanan terakhir yang masuk ke pencernaan saya hari ini.
Tak teringat lagi kapan terakhir sempat minum seteguk dua teguk air.
Kesibukan dan ketegangan mengurus proses persalinan Neng Susi, membuat kebutuhan makan dan minum seharian tadi hampir terabaikan sama sekali. Akibatnya barulah terasa sekarang. Justru di saat-saat paling mengerikan dan mencekam.
Saya melangkah perlahan. Melewati ruangan yang berantakan. Menuju tangga turun. Serpihan-serpihan pecahan plafon terdengar bergemeretak. Terinjak kaki yang lelah.
Entah berapa kali, telapak kaki yang tanpa alas menginjak pecahan beling. Buliran darah terasa perih. Keluar dari beberapa bagian yang sudah terlanjur luka oleh tusukan beling sebelumnya.
Menghindari luka yang pasti bakal lebih banyak, saya terpaksa harus melangkah dengan bersijingkat.
Sekitar 5 meter mendekati tangga turun, baru teringat kalau di saku celana sebelah kanan, saya menyimpan sebuah hand phone. Untungnya benda itu masih ada di tempatnya. Tidak terjatuh ketika tadi berlarian ke sana kemari. Untungnya lagi hand phone itu masih hidup. Baterainya masih lumayan.
Keberadaan hand phone ini memang memberi secercah harapan. Tapi ketika coba menggunakannya, berkali-kali yang terdengar hanya bunyi tuut.. tuut.. tuuut. Pertanda jaringan tak ada.
Rupanya bukan hanya jaringan listrik yang padam total bersamaan dengan guncangan besar gempa tadi. Jaringan selulerpun ikut terputus secara bersamaan.
Tak bisa digunakan menghubungi siapapun, setidaknya hand phone ini bisa memberikan secercah cahaya. Benar-benar secercah cahaya.
Berbekal secercah cahaya remang-remang handphone di tangan kiri, saya mulai melangkah pelan menuruni tangga. Di saat itulah, terngiang kembali teriakan tangis histeris perempuan yang sangat mirip suara Neng Susi itu.
Seketika bayangan mengerikan kembali berseliweran. Bayangan menakutkan akan kehilangan seluruh anggota keluarga. Akibat tertelan terjangan lumpur. setinggi hampir 20 meter itu, tiba-tiba kembali menebal.
Terlebih setelah tiba di lantai bawah saya menemukan kenyataan yang tak kalah mengerikan.
Tepat di depan tangga turun lantai satu. Tak lebih 10 meter di depan. Nampak samar-samar bayangan hitam. Menutupi seluruh lorong di antara sudut dinding sebelah selatan dan tiang di sebelah utara. Itu lorong yang tadinya menjadi akses utama para penghuni RS menuju lapangan terbuka. Di sebelah Timur.
Bayangan hitam itu menjulang tinggi. Menjajari atap bangunan sebelah Selatan RS. Hampir-hampir setinggi plafon lantai satu bangunan RS sebelah Selatan. Tempat saya berdiri sendirian saat ini.
Di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya redup hand phone, bayangan hitam itu seolah membentuk siluet raksasa. Berbadan sangat tinggi.
Sangat besar.
Sangat lebar.
Seolah pula hendak menelan semua yang ada di depannya. Dan sayalah satu-satunya makhluk hidup di tempat itu. Berdiri sendirian di depan siluet raksasa hitam pekat itu.
Tak ada seorangpun lagi di situ.
Sementara tak ada pilihan lain bagi saya. Kecuali harus berjalan. Mendekati bayangan raksasa hitam pekat mengerikan itu. Bayangan yang jaraknya tak lebih dari 10 langkah dari tempat saya berdiri. Di depan tangga turun itu.
Satu-satunya jalan keluar dari RS saat itu, hanyalah berjalan beberapa langkah ke arah bayangan itu. Lalu berbelok ke kiri. Menuju arah utara. Melewati lorong tempat saya dan Mama jatuh tersungkur. Oleh guncangan gempa sore tadi.
Belokan ke kiri itupun, hanya berjarak selangkah dari bayangan hitam pekat itu. Artinya saya akan berada sangat dekat dengan bayangan yang lama kelamaan menimbulkan perasaan aneh itu.
Saya tiba-tiba merinding. Sementara di belakang, tak ada apapun kecuali kegelapan. Sepenuhnya gelap. Kegelapan yang tak kalah mencekamnya dengan bayangan di depan itu.
Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-8-by.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pijar Park Kudus
Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...
-
Pagi ini kami menata semuanya dengan sangat baiknya. Management Waktu sangatlah terorganisir dengan baik. Berbenah di rumah sebelum berangka...
-
Mandi Pagi Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1300 an km dari Tangerang menuju Kapau Bukittinggi, pagi ini baru sempat mengantarkan T...
-
Alhamdulillah, pagi ini kami kembali ke rantau setelah dua Minggu berada di kampung halaman. Dua Minggu berkesan. Memberi kesempatan kepada ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar