Rabu, 05 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 2) by Hayyun Zsavana

Lahir Tanpa Operasi

Saya yang sudah sangat mengkhawatirkan kondisi Neng Susi, sempat jengkel sekali. Levelnya tingkat dewa. Jengkel pada petugas RS. Jengkel pula (astaghfirullaah) pada Mama.

Pikir saya, kenapa pula Mama pake acara maksa Neng Susi tadi sarapan. Coba kalau Mama tidak maksa. Pasti sekarang, begitu tiba, bisa langsung dioperasi.

Sempat pula saya membatin, kenapa tadi ketika ditanya, Neng Susi menjawab terlalu jujur. Pake mengaku segala kalau sebelum ke RS sudah sarapan. Bilang kek, belum. Atau kalau tidak mau bohong, cukup diam saja.

Aduhhh, benar-benar saya jengkel dan kalut karenanya.

Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Harus ikut prosedur. Itu juga untuk kepentingan suksesnya operasi. Untuk keselamatan Neng Susi juga.

Selama waktu menunggu itu, menit demi menit, situasi berubah dari tegang menjadi sangat menegangkan. Lagi dramatis. Rasa khawatir plus kalut pun tak terkira.

Bagaimana tidak, di atas tempat tidur IGD itu, Neng Susi terus mengalami kontraksi.

Makin sering.

Terus pula mengerang kesakitan. Sampai-sampai saya harus beberapa kali memanggil perawat jaga.

Saya agak sedikit lega, ketika Dokter Wulan -yang akan menangani operasinya menyempatkan datang untuk melihat kondisi Neng Susi. Mungkin atas permintaan perawat jaga. Mungkin perawat jaga tidak tahan dengan desakan saya. Sehingga merasa perlu meminta dokter Wulan yang sedang di ruang operasi, datang. Melihat kondisi Neng Susi begitu, dokter Wulan langsung memerintahkan kateterisasi dan pencukuran.

Sumpah, di situ saya baru tau, kalau orang mau dioperasi harus terlebih dahulu dikateter.

Pencukuran selesai.
Kateterisasipun selesai.

Masalah tak selesai.
Rasa kuatir dan tegang tak usai.

Neng Susi malah makin sering kontraksi dan mengerang kesakitan. Saya hanya bisa berdiri. Memegangi. Tepatnya, dipegangi. Dengan kuat. Sangat kuat. Setiap kontraksi, pegangan dan erangannya makin kuat. Lengan saya sampai terasa sakit dan ngilu dipegangi kuat-kuat begitu.

15 menit setelah dikateter dan dicukur, dalam erangan kontraksinya, Neng Susi mengatakan seperti ingin buang air besar. Saya spontan berteriak pada perawat jaga. Yang langsung mendatangkan seorang bidan. Jalan lahir diperiksa. Tak sabar saya bertanya:

"Bagaimana, Suster? "

Dijawab:

"Sudah pembukaan 3".

Tapi belum boleh mengejan. Posisi kepala si calon bayi belum pas.

Panggilan dari ruang operasi tak juga kunjung tiba.

Tegang.

Makin tegang.

Tenang sebentar.

Kontraksi lagi.

Mengerang lagi.

Lalu tiba-tiba Neng Susi mengeluh ingin buang air besar lagi. Untuk kedua kalinya. Makin kuat tanganku dipegang. Kali ini saya diam. Tepatnya bingung. Tak tau lagi mau berbuat apa.

Tapi ketika pada kontraksi dan erangan berikutnya, keluhan mau buang air itu muncul untuk ketiga kalinya, spontan saya berteriak panik ke perawat jaga.

Yang diteriaki tergesa melihat. Memeriksa dan tanpa ba bi bu, langsung memberikan arahan.

Rupanya proses persalinan sedang terjadi. Hanya dengan sekali mengejan.

Bluuuus.

Keluarlah si bayi. Hampir-hampir masih dalam selaputnya. Yang biasa disebut tembuni itu.

Masih teringat dengan jelas. Bagaimana mata bayi itu, sejenak melongo. Nyaris seperti kebingungan. Sempat pula Mama nyeletuk:

"Kenapa tidak menangis?".

Tapi dalam hitungan detik setelah itu, terdengarlah suara bayi menangis.

Begitu keras.

Begitu indah.

Begitu merdu.

Lega.

Sungguh lega.

Levelnya tingkat segala dewa.

Saya sempat melirik jenis kelaminnya.

Perempuan.

Tak terlalu kaget. Sesuai hasil USG yang dilakukan hampir tiap bulan sebelumnya.

Hampir bersamaan dengan suara tangis merdu si Dede (panggilannya selama dalam kandungan), pintu kamar operasi terbuka. Seorang petugas memanggil nama Neng Susi. Rupanya giliran operasi telah tiba.

Tapi kalau sebelumnya saya yang tidak bisa memaksa, ini kali perawatnya yang tidak bisa. Si Dede sudah keburu lahir. Tak mungkin dimasukin lagi ke dalam perut. Saya sampai bergurau ke Neng Susi,

"Wah si Dede seperti tau aja keinginan ayahnya".

Ketika ibunya sedang dibersihkan untuk persiapan operasi, saya memang sempat berseloroh. Mungkin juga setengah mengeluh.

"Perut bunda bakal gak mulus lagi nieh. Bakalan ada streching luka bekas operasi".

Tapi lebih dari itu, setelah si Dede lahir, saya juga tak tahan mengungkapkan kesan pada bundanya.

"Si Dede seperti buru-buru sekali mau keluar ya !! Agaknya dia tidak mau bundanya dioperasi. Seperti tau aja keinginan ayahnya".

Dan ini memang kesan sangat kuat yang saya rasakan. Terhadap seluruh proses persalinan anak ketiga kami ini. Begitu cepat dan tak terduga. Tak lebih dari tiga setengah jam sejak pertama kami tiba di IGD RSIA Nasana Pura. Kami tiba di situ sekitar jam 08.45. Tepat jam 11.15, si Dede sudah lahir.

Normal.

Tak sempat lagi dioperasi.

Tak terduga sama sekali. Bila kemudian, ternyata, semua urut-urutan kejadian ini, mulau dsri kontraksi di penghujung malam itu, sampai proses kelahiran si Dede yang begitu cepat, merupakan bagian dari suatu skenario Ilahiah. Skenario yang sangat rapi. Yang kesemuanya memberi peluang bagi kami untuk lolos. Dari terjangan maut. Hanya beberapa jam sesudahnya.

Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-3-by.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Car Free Day 15/09/2024

 Car Free Day  Minggu 15 September 2024 Sabtu siang Akbar, sepupunya Imam datang ke rumah. Dari kampus Untirta Sindang Sari Serang Banten be...