Rabu, 05 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 8) by Hayyun Zsavana

Kehilangan

Ketika pertama menemukan kenyataan mengerikan di depan tangga lantai satu itu,  saya memang sempat terperangah.  Hanya bisa melongo.  Terpaku diam.  Tak bisa berkata dan berbuat apapun. Untuk bergerak selangkah saja pun tetiba terasa begitu berat. 

Tapi saya tidak punya pilihan lain.  Apapun yang terjadi.  Bagaimanapun keadaan yang sedang dihadapi saat ini.  Tak ada pilihan lain.  Kecuali harus segera pergi dari tempat ini.  Tempat yang kini terasa bagai goa sangat besar. Berlantai dua.  Dengan lorong panjang gelap tanpa ujung.

Saya akhirnya memberanikan diri bergerak.  Melangkah pelan,  menuju ke arah bayangan hitam pekat itu.  Handphone di tangan saya hampir saja terjatuh ke lantai yang basah. Lantai yang sudah pula dipenuhi lumpur hampir setinggi mata kaki. Bekas luka tertusuk beling di lantai atas tadi. Di beberapa bagian telapak kaki,  terasa perih seperti tersayat-sayat, begitu telapak kaki telanjang saya menginjak gumpalan lumpur.

Pada jarak tiga langkah dari bayangan itu,  saya mencoba mengangkat handphone ke arah bayangan yang semakin di dekati semakin terasa membesar.  Di balik cahaya redup handphone,  saya menemukan kenyataan yang sama sekali tak terduga.  Ternyata bayangan hitam besar itu adalah gumpalan lumpur yang menggunung. Menutupi seluruh permukaan kosong di antara tiang sebelah Utara dan dinding Selatan RS.

Gumpalan  lumpur itu benar-benar menggunung.  Sangat tinggi. Menjajari atap bangunan RS di sebelah Utara. Hampir-hampir setinggi plafon lantai satu  bangunan RS sebelah Selatan.

Inilah rupanya gulungan lumpur setinggi 20 meter yang hampir menerjang saya saat berlari menyelamatkan diri tadi. 

Ini pula lumpur yang membuat seluruh penghuni RS di lapangan, panik. Lalu berlarian dalam riuh rendah teriakan, untuk menyelamatkan diri.

Lapangan yang tadinya menjadi tempat berkumpul para penghuni RS,  kini sepenuhnya pasti telah tertutupi oleh gunungan lumpur.

Gunungan lumpur ini pulalah rupanya  yang yang tadi menimbulkan suara gedebuk sangat kencang. Mengakibatkan guncangan cukup keras pada bangunan RS.  Suara gedebuk yang diikuti  gemuruh tak kalah kerasnya itu,  sangat mungkin timbul ketika gunungan lumpur menerjang dinding sebelah Timur RS. Berton-ton gunungan lumpur yang sebelumnya datang     bergulung-dengan dari arah Timur, membawa berbagai macam benda bersamanya,  telah menerjang gedung RS.

Bila gedung RS ternyata tidak runtuh oleh terjangan hebat itu,    sepertinya itu suatu keajaiban. Hanya kuasa Tuhan yang memungkinkan itu bisa terjadi.

Kini seluruh dinding bangunan RS sebelah Timur, sepenuhnya telah dipenuhi berton-ton lumpur.  Saya sendiri belum bisa lagi bernalar,  dari mana datangnya gunungan lumpur itu.

Apa mungkin lumpur itu diakibatkan oleh jebolnya tanggul irigasi tua yang terletak di sebelah Timur Kelurahan Petobo?

Tanggul itu memang sangat mungkin jebol akibat  guncangan dahsyat gempa beberapa saat lalu.   Tapi rasa-rasanya,  bilapun tanggul itu jebol,  hampir tak mungkin mengakibatkan banjir lumpur sebegini besar.  Saya benar-benar tak mampu menalar kenyataan aneh itu.

Saya  masih terus mengarahkan cahaya samar handphone ke arah gunungan lumpur.  Samar-samar terlihat beberapa pokok pohon masih dengan daunnya menonjol keluar dari baliknya.

Di bawah pokok kayu itu,  masih terdapat pula tempat tidur pasien yang sejak tadi menutupi akses jalan utama dari dalam RS ke lapangan.  Kini sebagiannya sudah tertimbun lumpur.

Terlihat pula  sepasang ban belakang sebuah mobil menyembul. Bodi mobil itu sepenuhnya menempel di dinding RS.  Boleh jadi pengemudinya masih ada di dalam.  Boleh jadi juga di balik gunungan lumpur itu, terdapat banyak korban. Akibat terseret lumpur. Tak sempat lagi lari menyelamatkan diri dari terjangan lumpur yang datang begitu tiba-tiba.

Membayangkan kemungkinan itu dan menemukan kenyataan mengerikan lagi aneh dalam jarak hanya 3 langkah di depan, membuat saya teringat lagi pada teriakan tangis histeris perempuan yang sangat mirip suara Neng Susi tadi.

Ingatan itu kali ini memberi akibat aneh.  Sekonyong-konyong seluruh tubuh saya  bergetar tanpa bisa dikendalikan. Kali ini bukan lagi oleh sekedar rasa takut akan kehilangan orang-orang tercinta. Mereka yang baru beberapa saat lalu masih bersama.

Bukan.

Bukan lagi sekedar ketakutan.

Tapi keyakinan.  Ketakutan teramat sangat akan kehilangan seluruh keluarga di tempat itu, kini berubah menjadi keyakinan.

Kenyataan di depan itu tidak lagi hanya sekedar menimbulkan rasa takut.  Tapi keyakinan bahwa seluruh keluarga saya yang ketika terjangan lumpur datang dari arah Timur,  berlari ke arah Selatan, kini telah menjadi korban. Ikut tersapu dan terbenam arus lumpur yang begitu deras dan kuat.

Tak seorangpun bisa selamat dari bencana yang datang tanpa disangka-sangka seperti ini.

Teriakan tangis  histeris sangat mirip suara Neng Susi itu, bisa jadi suara terakhirnya yang sempat terdengar,  sebelum menjadi korban terjangan lumpur,  bersama si Dede bayi, Mama dan yang lain.

Bersama keyakinan itu,  saya akhirnya dengan  lunglai melanjutkan langkah. Berbelok ke kiri. Melewati bayangan hitam gunungan lumpur.  Menuju jalan ke luar RS.  Ke arah Utara.

Apapun caranya.  Bagaimanapun keadaannya.  Saya harus segera keluar.  Mencari dan menemukan jasad keenam anggota keluarga tercinta.  Di balik timbunan lumpur.  Entah di sebelah mana. Di sekitar RS Nasana Pura.

Melangkah perlahan.  Sendirian. Di tengah kegelapan yang terasa begitu hening. Dalam lelah,  letih,  lapar, dan haus yang sudah mendera sejak tadi.  Tak terasa air mata berlelehan keluar.  Tanpa bisa ditahankan lagi.

Kini,  mau tidak mau.  Siap atau tidak siap.  Saya harus menghadapi kenyataan paling pahit dalam hidup.

Kehilangan Neng Susi.  Istri yang sudah bersama dalam suka duka,  pedih perihnya kehidupan selama 18 tahun.  Sejak tahun 2001.

Kehilangan si Dede bayi. Anak ketiga kami yang begitu diharapkan kehadirannya setelah 12 tahun tak lagi menikmati indah dan nikmatnya menimang seorang bayi.

Suara tangis pertamanya ketika di ruang bersalin IGD RS yang terdengar begitu indah dan melegakan, terngiang lagi. Melintas sekejap di pendengaran. Entah dari mana datangnya.

Kehilangan Inka.  Anak pertama yang lahir ketika kami masih dalam keadaan serba prihatin dan kekurangan. Gadis remaja yang kini berusia 17 tahun. Seorang gadis yang sedang beranjak dewasa dengan banyak prestasi yang begitu membanggakan kami.

Kehilangan Rangga.  Anak laki-laki satu-satunya yang memiliki prestasi tak kalah membanggakan dibanding kakaknya. Rangga yang cool.  Sangat cool malah.  Tidak banyak tingkah. Asalkan pulsa datanya tersedia cukup untuk main game online kesukaannya.

Kehilangan Mama.  Seorang ibu paling ikhlas. Ibu yang penuh perhatian ketika kami anak-anaknya sakit atau ditimpa masalah.  Tanpa perduli dengan kesehatannya sendiri yang sudah beberapa kali dirawat karena gejala penyakit jantung.

Mama yang pensiunan guru. Ibu hebat yang di masa tuanya, di usianya yang kini 71 tahun dengan hidup hampir sempurna. Berada di tengah keriangan cucu-cucunya.  Kesempurnaan hidup yang mestinya akan tuntas tahun depan dengan berangkat menunaikan haji ke tanah suci.

Kehilangan Widi.  Adik bungsu yang manjanya tak   habis-habis meskipun sudah memiliki rumah tangga sendiri.

Mengingat mereka satu persatu yang kini jasadnya entah terbujur di balik gunungan lumpur yang mana,  membuat lelehan air mata semakin deras. Benar-benar tak bisa lagi tertahankan.

Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-9-by.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...