Lari dari Terjangan Lumpur
Bayi yang saya ambil dari seorang suster di lantai 2 RS itu, ternyata bukan si Dede. Bayi yang ketika dibawa berlari tadi kelihatan sangat mirip putri ketiga kami, nyatanya bukan dia. Pada gelang warna pink di lengan bayi mungil itu, tak tertulis nama sesuai harapan kami.
Di situ tak tertulis:
BY: NY SUSI SUSILAWATI.
Tapi nama lain. Artinya sudah pasti bayi cantik yang kini dalam gendongan Mama itu, memang bukan si Dede.
Itu pukul 18.10 WITA. 8 Menit sesudah gempa. Kurang dari 5 menit sebelum terjangan lumpur.
Melihat nama yang tertera di gelang pink itu, seketika seluruh tubuh saya terasa lunglai. Rasa letih yang teramat sangat tiba-tiba mendera seluruh persendian tubuh. Seketika saya seperti kehilangan harapan.
Sementara hari makin beranjak gelap. Kali ini benar-benar akan gelap gulita. Karena sepertinya jaringan listrik juga telah padam total. Sejak guncangan dahsyat beberapa menit yang lalu.
Malam akan segera tiba.
Si Dede entah di mana.
Saya merasa begitu lelah. Sangat lelah. Sekaligus cemas. Perasaan takut akan kehilangan si Dede semakin kuat menghantui kami sekeluarga.
Hiruk pikuk orang di sekeliling, masih terus berlangsung. Situasi panik belum lagi mereda. Di tengah hiruk pikuk kepanikan itu, kami berenam hanya bisa terdiam. Ada suasana hening dan perasaan kosong, tiba-tiba mendera kami. Orang-orang semakin banyak berkumpul di lapangan itu.
Entah kemana kami harus mencari si Dede.
Tapi sepersekian detik setelah suasana hening dan perasaan kosong aneh. Yang tiba-tiba menyergap kami berenam. Di tengah hiruk pikuk kerumunan orang. Yang masih juga diliputi rasa cemas itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Beberapa puluh meter di belakang kami. Dari arah rumah sakit, sayup-sayup terdengar seseorang berteriak:
"Ini bayinya ibu Susi!!! Ini bayinya ibu Susi !!!"
Tak ayal lagi. Hampir serentak kami menengok ke arah suara itu. Seperlemparan dari kami, nampak seorang suster melangkah tergopoh-gopoh. Setengah berlari menuju ke arah kami. Di gendongan suster itu tampak sesosok bayi. Entah bagaimana caranya ia dapat mengenali kami di tengah kerumunan begitu banyak orang.
Saya sendiri seketika hanya bisa terperangah.
Terpaku.
Diam.
Antara percaya dan tidak. Kalau bayi di gendongan suster itu benar-benar si Dede.
Saya baru bereaksi ketika suster itu kurang tiga langkah dari kami. Itupun karena tepukan Neng Susi dipundak.
"Ayah, itu si Dede", kata Neng Susi.
Seperti orang yang baru saja tersadar dari pengaruh hipnotis, saya tersentak. Suster itu sudah ada di depan kami.
" Ini bayinya ibu Susi, Pak". Dengan nafas masih memburu, suster berkata sambil mengangsurkan bayi itu.
Tak sempat berkata-kata lagi, spontan saya menyambutnya. Menggendongnya dengan perasaan campur aduk. Masih belum sepenuhnya percaya. Begitu bayi itu berada dalam gendongan saya, Neng Susi sekonyong-konyong menyergah:
"Periksa gelangnya, Ayah".
Masih di hadapan suster itu. Disaksikan Neng Susi, Mama, Widi, Inka dan Rangga. Dengan perasaan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau itu bukan si Dede. Saya menyingkap kain bedong si bayi. Memeriksa gelang pink di lengannya.
Begitu gelang itu tersingkap, hampir bersamaan kami berseru:
"Benar. Ini si Dede!!"
Di gelang berwarna pink itu memang tertulis nama. Lengkap dengan kode Rekam Medik, tanggal lahir, dan alamatnya.
BY: SUSI SUSILAWATI (P)
RM: 00013663 Tgl Lhr 28-09-2018
Jl: bulu masomba lrng melati kec. palu selatan
Tak pelak lagi. Bayi ini benar-benar si Dede. Saya seketika memeluknya dengan rasa lega tak terkira. Senang bukan main. Tak terbayangkan gembira dan girangnya. Beban di dada yang tadi sempat menggelayut begitu berat, langsung luruh. Segenap rasa letih yang teramat sangat sebelumnya, lumer. Hilang begitu saja. Benar-benar lega rasanya.
Begitu senangnya. Begitu girangnya sampai-sampai lupa mengucapkan terima kasih. Pada suster yang menyelamatkannya. Suster yang sangat berjasa bagi kami sekeluarga itu. Neng Susi lah yang kemudian mengucapkannya:
"Terima kasih suster".
Ucapan itu seperti mewakili ungkapan terima kasih kami yang begitu besar pada suster baik hati itu. Ucapan terima kasih yang tak sempat lagi saya ungkapkan kepada malaikat penolong kami itu. Terabaikan oleh rasa lega dan bahagia tak terhingga. Setelah akhirnya benar-benar bisa berdekatan dengan si Dede. Bahkan sekarang bisa memeluknya.
Akhirnya si Dede kini benar-benar sudah berkumpul bersama kami. Meski di tengah suasana tak biasa. Terpenting si Dede sudah ada bersama kami.
Suster yang tadi menyelamatkan dan membawanya kepada kami, sudah pergi. Bersama bayi yang diambilnya dari gendongan Mama. Tak sempat lagi kami memperhatikan ke arah mana ia menghilang.
Orang-orang di lapangan itu semakin banyak.Masih seperti tadi. Semuanya dengan wajah dipenuhi kecemasan. Takut dan khawatir kalau-kalau gempa susulan dengan guncangan lebih besar terjadi lagi.
Gempa dengan guncangan sebesar tadi saja, telah membuat kami semua mengira bumi sudah akan kiamat. Lebih-lebih terjadinya di hari Jum'at pula.
Gempa yang tadi saja sudah membuat kami begitu ketakutan. Bahkan trauma. Bagaimana pula kalau gempa susulan dengan guncangan lebih besar benar-benar terjadi.
Entah apa yang akan terjadi pada kami.
Beberapa gadis remaja di lapangan itu, nampak menangis ketakutan. Sambil memeluk ibu atau ayahnya. Mereka pasti sangat ketakutan. Jangankan mereka, Saya, Neng Susi, Mama, dan hampir pasti semua orang di tempat itu, baru kali ini merasakan gempa sebegini dahsyat.
Gempa yang membuat tanah tempat kami berpijak tidak saja berguncang keras. Tapi bergerak-gerak hampir ke segala arah. Seperti hendak terbelah.
Ini benar-benar pengalaman pertama bagi kami. Ini menjadi bencana paling mengerikan yang pernah kami alami seumur-umur.
Di saat guncangan dahsyat tadi, kami benar-benar merasakan maut sudah begitu dekat hendak menjemput.
Tapi syukurlah, sampai sejauh ini kami semua masih selamat. Apalagi si Dede juga sudah bersama kami.
Setelah kepergian suster itu, sambil menggendong si Dede, saya meminta Neng Susi untuk duduk. Di bawah. Di lantai pavin lapangan. Tidak ada kursi atau sejenis tempat duduk di situ. Lantai lapangan itu kelihatannya cukup bersih untuk diduduki. Saya berfikir, dia pasti masih lemas. Persalinan yang baru beberapa jam lewat, pasti sangat berpengaruh pada fisiknya. Pasti belum cukup kuat berdiri terlalu lama. Lebih-lebih baru saja tadi terpaksa harus berlari dari kamar perawatan ke lapangan ini.
Tapi Neng Susi rupanya enggan. Spontan ia menjawab :
"Gak ah. Nanti jahitannya terbuka. Takut pendarahan".
Mendengar obrolan kami berdua, Mama yang berdiri agak ke samping, menimpali:
"Ambilkan kursi buat dia. Sini Dede bayinya Mama gendong".
Setelah menyerahkan si Dede bayi pada Mama, saya celingak-celinguk sejenak. Melihat-lihat mungkin ada kursi di sekitar situ.
Tidak ada.
Tak satupun kursi atau yang sejenisnya ada di lapangan itu. Tidak ada pilihan lain. Saya harus mengambil resiko. Kembali ke dalam gedung RS. Hanya di situ kemungkinan ada kursi yang dapat diambil.
Apa boleh buat. Meskipun gempa susulan masih saja terus susul menyusul, saya kembali berlari ke dalam gedung RS. Untung saja saya tidak harus masuk terlalu jauh ke dalam. Di teras sebuah kamar, saya menemukan sebuah kursi. Teras kamar itu, berada tepat di sebelah selatan dua tiang bangunan yang kini telah tertutup sepenuhnya oleh tempat tidur pasien. Itu tempat tidur pasien yang tadi ditarik-tarik oleh seorang bapak. Rupanya si bapak benar-benar gagal meloloskannya melewati kedua tiang itu.
Tak mau berlama-lama di bawah bangunan, kursi itu langsung saya angkat. Agak berat rupanya. Tapi karena mengingat Neng Susi sangat membutuhkannya, kursi itu tetap juga saya angkat. Tak ada lagi waktu untuk mencari kursi yang lebih ringan. Yang penting Neng Susi bisa duduk. Sambil menunggu keadaan bisa tenang kembali. Untuk bisa masuk lagi. Ke kamar perawatannya.
Namun baru saja saya hendak beranjak kembali ke lapangan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Lalu terdengar pula teriakan hampir serempak dari kerumunan orang di lapangan:
"Banjiiir!!! Banjiiir!!! Banjiiir!!!
"Lariii!!! Lari!!! Lariii!!!"
Suasana di lapangan seketika kembali kacau balau. Orang-orang yang tadinya mulai tenang, kini berhamburan ke segala arah. Ada yang ke utara. Masuk kembali ke RS. Adapula yang ke Selatan. Menuju sebuah lorong kecil. Di samping Selatan RS.
Seorang bapak setengah baya yang berlari ke arah Utara sempat jatuh tersungkur. Tepat di depan saya. Bapak itu terjatuh karena berusaha melompati tempat tidur pasien yang sejak tadi menghalangi jalan di antar dua tiang lorong sebelah Utara itu.
Melihat orang-orang yang tiba-tiba berhamburan, saya serta merta melemparkan kursi yang sudah terangkat di pundak. Lalu segera pula ikut berlari.
Tapi saya tidak berlari ke arah Utara. Saya justru berlari sekencangnya ke arah sebaliknya. Hendak masuk kembali ke lapangan itu. Melompati tempat tidur pasien di hadapan Saya. Hampir saja saya bertubrukan dengan seorang bapak yang juga ikut melompati tempat tidur pasien itu dari arah sebaliknya.
Saya belum tau pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang terdengar jelas hanya suara gemuruh. Suara yang semakin lama-semakin keras. Sepertinya berasal dari arah sebelah Timur RS. Dari arah Kelurahan Petobo.
Saya harus segera sampai di tengah lapangan. Tujuan saya hanya satu. Memastikan Neng Susi dan si Dede bersama yang lainnya sudah tidak ada lagi di tengah lapangan.
Mungkin hanya dalam sepuluh langkah, saya telah berada di tengah-tengah lapangan. Tepat di tempat kami tadi berdiri. Tidak ada lagi siapapun di situ.
Lapangan telah kosong.
Berarti Neng Susi dan Si Dede bersama yang lainnya ikut berlari ke arah Selatan RS.
Dari tengah lapangan itu, samar-samar masih terlihat punggung 3 orang pria. Mereka juga berlari ke arah Selatan. Setelah ketiga sosok pria itu berbelok ke Barat dan menghilang di balik dinding RS, lapangan menjadi benar-benar kosong. Saya menjadi orang terakhir yang berada di situ.
Sementara suara gemuruh itu terdengar semakin keras. Lantai pavin tempat saya berdiri juga terasa seperti kembali bergerak-gerak.
Ketika akhirnya menengok ke arah Timur, saya segera terkesiap. Betapa tidak. Dalam jarak tak lebih dari 50 meter, terlihat gunungan lumpur berwarna coklat kehitaman. Setinggi tak kurang dari 20 meter. Bergulung-gulung. Menerjang apa saja yang dilewatinya. Menuju tempat saya berdiri.
Saya semakin terkesiap, ketika melihat di antara gunungan lumpur itu, puluhan pohon kelapa dan pepohonan lainnya seperti ikut mengalir. Bergerak mengikuti arus lumpur.
Tidak itu saja.
Puluhan mobil juga nampak timbul tenggelam di antara gulungan lumpur itu. Beberapa rumah kelihatan seperti tersungkur tak berdaya. Nampak pula sebuah rumah bertingkat. Kelihatan seolah masih tegak berdiri. Tapi terombang-ambing ikut terbawa arus lumpur. Yang terus bergerak deras ke Barat. Terus mendekati Lapangan tempat saya berada.
Saya benar-benar terkesiap. Menyaksikan pemandangan aneh. Sekaligus mengerikan itu. Saya harus segera pergi dari situ. Lambat sedikit saja, akan sangat fatal akibatnya.
Namun gulungan lumpur itu semakin dekat. Tak banyak pilihan yang dapat di ambil. Berlari ke Selatan, apalagi ke Utara, hampir pasti saya akan diterjang gulungan lumpur. Satu-satunya pilihan, hanya masuk kembali ke bangunan RS. Itupun harus secepatnya naik ke lantai atas.
Tanpa sempat memikirkan kemungkinan gedung RS akan rubuh oleh terjangan lumpur yang semakin dekat, saya seketika berbalik. Kembali berlari. Masuk ke dalam bangunan RS. Langsung naik ke lantai 2.
Rupanya saya tidak sendirian di tempat itu. Selain saya ada 4 orang lain di situ. Sepertinya mereka satu keluarga. Sepasang suami istri dengan 2 orang anak berusia sekitar 8 dan 10 tahun. Dalam keadaan seperti itu, tak sempat lagi kami saling bertegur sapa.
Bersamaan dengan tibanya saya di lantai 2, gedung RS itu berguncang. Lumayan keras. Diiringi suara yang tak kalah kerasnya. Kali ini bukan lagi hanya suara gemuruh. Tapi bergedebug. Seperti suara sesuatu yang sangat berat menabrak sebuah bidang padat.
Terlintas kembali bayangan gulungan lumpur sesaat lalu. Mungkin guncangan dan suara bergedebuk itu, timbul akibat gulungan lumpur setinggi 20 meter tadi, telah menabrak tembok bagian Timur RS.
Membayangkan kengerian yang akan terjadi, bila bangunan RS itu rubuh akibat tak kuat menahan terjangan lumpur, secara spontan saya kembali berbalik. Turun lagi ke lantai bawah. Ingin segera keluar mencari tempat aman. Setidaknya untuk sementara waktu. Terlebih keadaan di RS itu sudah benar-benar diliputi kegelapan. Sayapun ternyata tinggal seorang diri. Empat orang tadi, entah telah menghilang ke mana. Hal terbaik memang harus sesegera mungkin keluar dari tempat ini.
Namun baru saja tiba di tangga terakhir menuju lantai bawah, suara gemuruh masih juga terdengar. Susul menyusul dengan suara gedebuk seperti yang terdengar di lantai atas tadi. Guncangan-guncangan kecilpun masih terus terasa. Keadaan di lantai bawah itupun sudah sedemikian gulita. Tak satupun benda yang dapat terlihat.
Gelap.
Pekat.
Itu kegelapan yang tidak saja pekat. Tapi terasa sangat mencekam. Bagi saya yang ternyata tinggal seorang diri di situ. Yang tidak sepenuhnya tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Yang sama sekali tidak tau bagaimana keadaan di sekitar tempat itu. Apalagi setelah suara gemuruh dan gedebuk yang tadi terdengar seperti menerjang bangunan RS.
Saya akhirnya memutuskan kembali naik ke atas. Kali ini rasa letih yang teramat sangat kembali mendera. Saya tak bisa lagi berlari. Hanya bisa berjalan perlahan. Tertatih berusaha menaiki anak tangga. Satu persatu. Dengan nafas tersengal. Terus berjalan. Menuju ke tengah-tengah ruangan. Kali ini bukan saja letih, kerongkongan pun terasa kering. Rasa haus tiba-tiba menyengat. Tapi saya masih terus berjalan gontai. Ada keinginan yang kuat untuk berbaring sejenak.
Sejenak terlintas pula ingatan pada mobil. Yang sore tadi diparkir di samping pos keamanan. Di depan RS. Mungkin mobil itu kini telah ikut terseret lumpur. Artinya saya akan kehilangan mobil. Sempat pula terlintas rasa kuatir bila itu benar-benar terjadi.
Namun rasa kuatir akan kehilangan mobil itu, tak ada artinya dengan rasa kuatir yang segera muncul sesudahnya.
Bukan.
Bukan sekedar rasa kuatir.
Tepatnya rasa takut.
Kali ini bahkan lebih besar dari rasa takut akan kehilangan si Dede sebelumnya. Bagaimana tidak, baru saja hendak duduk untuk sejenak beristirahat di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan tangis histeris. Dari balik dinding sebelah Selatan RS. Arah tujuan sebagian besar penghuni RS. Ketika tadi lari berhamburan. Menyelamatkan diri dari terjangan lumpur.
Itu suara tangisan seorang perempuan. Yang membuat saya kali ini begitu panik dan takut, suara itu sangat mirip dengan suara Neng Susi.
Mendengar tangis histeris itu, saya berusaha bangun. Hendak berdiri tegak.
Tidak bisa.
Bukannya tegak. Saya malah jatuh terguling di tengah-tengah ruangan gelap itu. Tidak perduli dengan tubuh yang sudah terasa begitu lemas. Juga kerongkongan yang semakin terasa kering. Oleh haus yang mendera. Saya tetap berusaha berdiri.
Ketika akhirnya bisa berdiri tegak, yang bisa saya lakukan hanyalah berteriak histeris. Dengan suara tercekat oleh kerongkongan yang kering, saya memanggil-manggil sekerasnya:
"Dede!!! Dede!!! Dede!!!"
"Rangga!!! Rangga!!! Rangga!!!"
Saya terus berteriak histeris. Sekencang-kencangnya. Terus Memanggil-manggil nama dua anak itu. Sampai saya terjatuh.
Terduduk.
Kelelahan.
Namun masih terusmemanggil-manggil nama kedua anak itu.
Dede dan Rangga.
Panggilan itu mewakili rasa kuatir dan takut yang teramat sangat. Akan nasib keduanya.
Si Dede. Bayi kecil kami yang baru saja sebentar tadi sempat saya peluk.
Juga Rangga. Anak laki-laki satu-satunya.
Kedua anak ini yang paling saya khawatirkan. Di antara mereka berenam, keduanya anak paling lemah secara fisik. Si Dede yang masih bayi. Demikian juga Rangga. Anak itu memang seorang laki-laki. Sedang beranjak remaja. Sudah kelas 1 SMP. Tapi sehari-harinya dikenal terlalu cool. Gerak-geriknya tak setangkas dan tak sesigap anak lelaki sebayanya.
Saya sangat mengkhawatirkan dia tak bisa berlari cepat. Menghindari sergapan lumpur. Lalu tak berdaya ikut tertelan dan tergulung terjangan lumpur.
Membayangkan itu, kengerian dan ketakutan teramat sangat sungguh tak terkira. Benar-benar lebih dari kengerian dan ketakukan sebelumnya. Kali ini kengerian dan ketakutan itu berkali lipat rasanya.
Betapa tidak. Kini saya hanya bisa terduduk lemas. Seorang diri. Di tengah ruangan yang gelap pekat. Sementara guncangan-guncangan kecil masih terus terjadi. Suara gemuruh dan gedebuk itupun belum sepenuhnya hilang.
Namun bukan suasana mencekam di lantai 2 RS ini yang membuat rasa ngeri dan takut menjadi begitu besar. Tapi oleh kenyataan. Bahwa kini saya bukan saja terpisah dengan si Dede. Tapi juga terpisah dengan Neng Susi, Mama, Widi, Inka dan Rangga.
Teriakan tangis histeris perempuan yang sangat mirip dengan suara Neng Susi sesaat lalu, benar-benar membuat kengerian dan ketakutan itu semakin bertambah-tambah.
Itu pukul 18.20. Kurang lebih.
13 menit sesudah gempa.
5 menit setelah terjangan lumpur.
Saya kini sendirian. Masih terduduk lemah. Kembali terpisah dengan Si Dede. Sama seperti sebelumnya. Kembali tak diketahui bagaimana nasibnya. Tapi kali ini bersama kelima anggota keluarga yang lain.
Saya kini benar-benar sendirian.
Terhenyak.
Diam.
Tak berdaya.
Di cekam gelap pekat.
Terhantui ketakutan tak terkira.
Oleh teriakan tangis histeris seorang perempuan yang sangat mirip suara Neng Susi.
Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-7-by.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pijar Park Kudus
Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...
-
Pagi ini kami menata semuanya dengan sangat baiknya. Management Waktu sangatlah terorganisir dengan baik. Berbenah di rumah sebelum berangka...
-
Mandi Pagi Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1300 an km dari Tangerang menuju Kapau Bukittinggi, pagi ini baru sempat mengantarkan T...
-
Alhamdulillah, pagi ini kami kembali ke rantau setelah dua Minggu berada di kampung halaman. Dua Minggu berkesan. Memberi kesempatan kepada ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar