Detik-Detik Sangat Mencekam
Pukul 17.57 WITA. Jum'at, 28 September 2018. Lima menit sebelum peristiwa mengerikan itu.
Kami berenam. Di dalam kamar perawatan. Lantai 1. RSIA Nasana Pura.
Saya.
Yang 1 jam sebelumnya baru tiba dari BPJS. Yang di jalan Sisingamaraja itu.
Neng Susi.
Yang 6 jam lalu baru saja melahirkan bayi perempuan.
Putri ketiga kami. Inka.
Yang tiba di RS 1 jam sebelum kedatangan saya.
Kedatangan inka di RS sebenarnya tidak direncanakan. Karena hari itu dia sedang sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke UGM. Besok Sabtu dia harus berangkat ke Yogya. Mewakili sekolahnya. SMA al-Azhar. Mengikuti olimpiade Biologi.
Dia penasaran dan tidak sabar. Ingin segera melihat adik barunya sebelum berangkat besok.
Dia datang berboncengan motor bersama Widi. Adik bungsu saya.
Rangga.
Orang keenam yang ikut gabung bersama kami di ruang perawatan sore itu. Dia tiba di RS sekitar 15 menit setelah kedatangan saya.
Tidak ketinggalan Mama. Yang sejak pagi menemani kami.
Berenam kami sedang bersenda gurau di kamar perawatan lantai satu. Sambil menutupi rasa penasaran. Menunggu kedatangan si Dede Bayi.
Kami semua sudah tidak sabar. Ingin segera melihat dan menggendongnya. Berdekat-dekatan dengannya.
Di antara kami berenam hanya saya sendiri yang sudah sempat melihatnya. Itu saja rasa penasaran saya tidak kalah besarnya dengan yang lain.
Pokoknya tidak sabar. Pake banget. Ingin segera berada di dekat anggota baru keluarga kami itu.
Si Dede bayi melengkapi jumlah kami sekeluarga. Menjadi 7 orang. Sore itu. Di RSIA Nasana Pura.
Si Dede bayi. Yang belum juga turun-turun. Dari lantai 2. Masih di ruang perawatan bayi. Yang terakhir saya lihat tidur dengan tenang di box bayi. Bersama puluhan bayi lainnya. Di boxnya masing-masing. Sebagiannya masih dalam perawatan khusus. Di dalam inkubator. Satu dua malah masih membutuhkan bantuan oksigen.
Jam 17.57 WITA. 5 Menit sebelum gempa 7,4 SR itu. 15 sampai 20 menit sebelum terjangan lumpur likuifaksi dari arah Timur RS Nasana Pura itu. Kami berenam masih di kamar perawatan lantai satu. Dan si Dede bayinya belum juga bersama kami.
Hari akan segera berganti. Malam segera tiba. Kumandang shalawat dari beberapa masjid sekitar, sudah pula terdengar. Kelamaan menunggu si Dede bayi yang tak kunjung datang, saya dengan Mama pamit pulang.
Mama mau pulang ke rumah. Ingin shalat maghrib di rumah. Sekalian mau menyiapkan makan malam buat papa. Yang ditinggal sendirian di rumah. Saya sendiri juga sekalian mau mengubur ari-ari (tembuni). Yang sudah 6 jam lebih belum sempat terurus.
Begitulah. Saya bersama Mama beranjak keluar. Menuju tempat mobil terparkir. Tepat di samping pos security. Di depan IGD RS Nasana Pura. Di pinggir jalan HM. Soeharto.
Kami berdua berjalan santai. Pelan saja. Melewati lorong RS. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu. Apalagi sesuatu yang dahsyat lagi luar biasa. Pun yang mengerikan dan mencekam.
Namun, baru sekitar 30 meter kami berjalan. Dalam hitungan kurang 1 menit sejak kami keluar dari kamar perawatan. Masih di lorong RS. Tepat di sebelah taman kecil tak beratap. Sekitar 20-30 Meter sebelum IGD. Tempat Neng Susi 6 jam sebelumnya menunggu jadwal operasi cesar. Tapi malah melahirkan normal.
Tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh. Begitu besar. Hampir mendekati suara ledakan.
Sangat keras.
Bersamaan dengan itu, kami berdua seperti terlempar ke atas. Lalu dalam hitungan detik seketika terjatuh. Terguling di lantai ubin lorong RS.
Ketika terjatuh itupun, suara gemuruh masih terus terdengar.
Tanah di sekitar kami berguncang begitu kerasnya. Lantai ubin RS tempat kami terjatuh mengeluarkan suara berderak-derak. Seperti bergerak-gerak dan hendak terlepas secara bersamaan.
Dalam keadaan setengah tertelungkup, setelah terjatuh dan terguling itu, secara refleks saya berusaha menarik tangan Mama. Yang terhempas jatuh di samping saya. Saya berusaha berdiri. Sambil berupaya menarik tangan Mama. Supaya bisa ikut berdiri. Saya tarik sekuatnya. Tapi segera terlepas lagi.
Kami terjatuh lagi.
Berdiri lagi.
Terjatuh lagi.
Berdiri lagi.
Terjatuh lagi.
Berdiri lagi.
Tidak bisa.
Tak ada pijakan yang stabil. Lantai ubin di bawah kami seperti tak mau berhenti bergoyang.
Dalam keadaan panik dan kacau itu, sambil terus berusaha menarik tangan Mama, berulangkali saya berkata. Tepatnya berteriak pada Mama:
"Mama.. jangan di sini kita!! Jangan di sini kita!! Kita ke situ!!".
Berkata begitu, tanpa berhasil menunjuk arah manapun yang saya maksud. Tidak jelas pula apa jawaban Mama. Saya hanya mendengar suara gumaman. Cenderung hanya seperti menggerung.
Menyedihkan sekali kondisi Mama saat itu. Tertelungkup di lantai. Beberapa kali berusaha berdiri. Tapi terus terjatuh.
Akhirnya tangan Mama bisa saya raih. Segera saya tarik. Sebisanya Mama saya peluk. Sekali lagi kami terjatuh. Pikiran saya ketika itu, harus segera membawa Mama menyingkir dari lorong RS. Ke taman kecil tak beratap. Hanya 1 meter di sebelah kiri kami. Menghindari kejatuhan benda-benda keras dari atas. Yang pasti akan menimpa kami bila tidak segera pergi dari situ.
Tapi untuk menjangkau taman tak beratap yang hanya berjarak 1 langkah itu, begitu susahnya. Kami benar-benar kehilangan tempat berpijak. Tanah di bawah kami terus bergoyang. Bergerak-gerak tiada henti. Diikuti suara berderak dan gemuruh yang aneh.
Sangat mengerikan.
Begitu mencekam.
Dan itu semua berlangsung begitu cepat.
Akhirnya saya bisa menarik Mama berdiri. Membawanya ke taman berlantai pavin tak beratap di sebelah kiri. Tapi baru selangkah, sekonyong-konyong dari arah belakang kami, seorang laki-laki, mungkin seusia saya, memangil:
"Ke sini bu. Ikut saya bu".
Melihat ada orang berbaik hati membantu, saya meminta Mama mengikuti orang tersebut. Ketika itu guncangan keras dan suara gemuruh sudah agak mereda.
Saya sendiri lalu segera berlari kembali ke arah dalam RS. Ke ruang perawatan. Tempat Neng Susi, Inka, Rangga, dan Widi terakhir kami tinggalkan.
Sepanjang lorong menuju ke arah dalam itu, berserakan pecahan beling.
Suasana kacau.
Terdengar di sana-sini suara teriakan. Semua orang panik. Setiap orang mencari jalan keluar. Takut kalau guncangan terjadi lagi.
Dalam suasana yang begitu kacau dan panik itulah saya berlari ke ruang perawatan. Sambil berusaha untuk tidak terjatuh. Karena menghindari pecahan beling. Atau malah bertabrakan dengan orang lain. Yang pasti sama-sama tak kurang paniknya.
Ketika berlari menuju ke dalam RS itu, dari jauh saya melihat seorang ibu terjatuh. Tepat di depan pintu ruang perawatan Neng Susi.
Ibu itu hanya menggunakan sarung. Dengan rambut awut-awutan. Masih dengan infus di tangan. Yang miris, di ujung bawah sarungnya, menyembul selang kecil. Itu selang kateter. Yang biasa dipasang di saluran kencing. Sesaat sebelum operasi cesar.
Saya tau itu selang kateter. Karena Neng Susi pagi tadi juga sempat dipasangi selang serupa. Sudah siap-siap untuk operasi Cesar juga. Hanya tinggal menunggu panggilan dokter. Untuk masuk ruang operasi. Tapi belum sempat panggilan datang, si Dede bayinya keburu lahir.
Seorang suster berusaha membantu ibu yang terjatuh itu berdiri. Saya berjarak sekitar 10 meter dari mereka. Begitu bisa berdiri, mereka berjalan pelan ke arah Utara. Melewati saya yang berlari ke arah sebaliknya. Saya sempat menunjukkan jalan keluar untuk evakuasi.
"Terus!!! nanti belok kanan ke lapangan di samping Timur", kata saya.
Tempat itu saya tau, karena sebelumnya saya melihat Mama dibawa oleh laki-laki yang tadi menolongnya ke situ.
Begitu tiba di depan pintu ruang perawatan, saya langsung membuka pintu kamar. Karena panik ditambah rasa khawatir yang sangat, pintu itu saya buka sambil tanpa sadar menendangnya.
Syukurlah hal yang saya takutkan tidak terjadi. Sambil berlari tadi, saya sangat kuatir kalau-kalau mereka, Neng Susi, anak-anak, dan Widi, tertimpa runtuhan bangunan atau benda keras apapun dari atas.
Syukurlah itu tidak terjadi. Hanya kamar memang dalam keadaan berantakan. Dua tempat tidur di kamar itu, rupanya saling bertabrakan ketika guncangan keras tadi terjadi. Tas dan helm yang tadinya di atas lemari, sudah berserakan di lantai. Begitu juga dispenser dan galon ikut terguling di lantai.
Tapi lega sekali rasanya melihat mereka berempat tidak apa-apa. Ketakutan dan kuatir tentu saja. Neng Susi dan anak-anak saya temukan saling berpelukan.
Tanpa ba-bi-bu, serta merta saya menyuruh mereka keluar. Setengah berteriak:
"Ayo keluar. Keluar. Cepat keluar!!!".
Melihat kedatangan saya, mereka berempat tentu saja lega. Tapi hanya sesaat. Mendengar saya berteriak menyuruh secepatnya keluar, kontan seketika mereka berdiri. Saya langsung menarik tangan Neng Susi dan anak-anak. Sejurus Neng Susi sempat mengingatkan:
"Tas bagaimana ayah".
Saya yang hanya memikirkan untuk sesegera mungkin membawa mereka keluar dari gedung RS itu, spontan menjawab:
"Sudah, tidak usah pikirkan yang lain dulu. Nyawa dulu yang penting".
Sambil berkata begitu, saya segera meraih tangan Neng Susi. Menuntunnya keluar ruangan.
Kondisinya yang masih lemah, tidak memungkinkannya bisa bergerak cepat. Apalagi berlari.
Belum lagi kondisi jalan sepanjang lorong keluar RS itu, memang sudah berantakan. Pecahan beling di sana sini.
Ditambah lagi orang-orang yang berlarian. Di depan dan di belakang kami.
Belum lagi, di tangan Neng Susi masih terpasang utuh sebotol infus. Dalam keadaan dengan infus di tangan itulah, kami bergegas keluar.
Inka, Rangga, dan Widi sudah di depan kami. Tujuan kami, lapangan di samping Timur RS.
Lapangan itu seingat saya berlantai pavin. Kurang lebih seluas lapangan futsal.
Suasana begitu mencekam. Sangat mencekam. Meski berusaha sekuatnya untuk tenang, tetap saja saya panik. Rasa kuatir kalau-kalau bangunan RS itu rubuh dan menimpa kami, membuat saya benar-benar panik.
Dalam suasana mencekam dan panik luar biasa itu, saya membawa Neng Susi berlari. Hampir lupa, kalau dia baru saja melahirkan. Hampir lupa kalau di lengannya masih menempel jarum infus. Utuh dengan botolnya.
Sambil menarik tangan Neng Susi, saya berteriak-teriak menyuruh Inka, Ranga, dan Widi untuk terus berlari. Kami harus secepatnya sampai di lapangan terbuka itu. Di samping sebelah Timur RS itu. Tepat di arah kelurahan Petobo itu.
Itu sudah jam 18.05 WITA. Kira-kira. 5-10 menit sebelum lumpur likuifaksi datang bergulung-gulung. Dari kelurahan Petobo. Setinggi 20 meter lebih. Menerjang lapangan tempat kami semua berkumpul. Lalu menghantam dinding sebelah Timur RS dengan keras.
Jam 18.05 itu. 5-10 menit sebelum terjangan lumpur likuifaksi itu. Kami berlima terus berlari. Menuju lapangan terbuka itu.
Dan si Dede bayi belum lagi ada bersama kami.
Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-5-by.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pijar Park Kudus
Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...
-
Pagi ini kami menata semuanya dengan sangat baiknya. Management Waktu sangatlah terorganisir dengan baik. Berbenah di rumah sebelum berangka...
-
Mandi Pagi Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1300 an km dari Tangerang menuju Kapau Bukittinggi, pagi ini baru sempat mengantarkan T...
-
Alhamdulillah, pagi ini kami kembali ke rantau setelah dua Minggu berada di kampung halaman. Dua Minggu berkesan. Memberi kesempatan kepada ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar