Selasa, 04 Februari 2020

Kisah_Nyata_Bencana_Lembah_Palu (part 1) by Hayyun Zsavana

Kontraksi

Ketika itu. Kami bertujuh. Saya, Mama, Neng Susi Susilawati (istri saya), anak pertama dan kedua saya, Priyanka Amanda Savana (Inka) dan Priyanggara Zuhaynanda Zavana (Rangga), Widi (adik bungsu saya), dan bayi kami yangg baru lahir.

Tepat ketika musibah gempa, tsunami dan likuifaksi itu. Kami berada di RSIA Nasana Pura. RS Ibu dan Anak ini terletak di bagian paling Timur wilayah kelurahan Petobo. Sebuah kelurahan di wilayah Kota Palu. Terletak di arah paling Selatan Kota. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Sigi. Berbatasan langsung pula dengan Kelurahan Kawatuna. Tempat kami sekeluarga tinggal. Ujung paling Selatannya.

Kelurahan Kawatuna sendiri, merupakan batas paling Timur wilayah Kota Palu. Berupa dataran tinggi. Dengan sebagian pemukiman berada di perbukitan. Setidaknya berbatasan langsung dengan bukit-bukit kecil dan gunung.

Di Kawatuna ini terdapat Bulu (Gunung) Masomba. Sebuah gunung yang legendaris. Bagi masyarakat Kota Palu. Berbentuk serupa layar perahu. Ada legenda tentang gunung ini. Legenda yang sangat terkenal. Di seantero jazirah Sulawesi. Legenda Sawerigading. Yang kisahnya mirip Nabi Nuh itu. Melayari seluruh pulau dengan sebuah perahu. Bersama seekor anjing. Bernama si Buri.

Perahu itu akhirnya bersandar di suatu tempat. Di lembah Kaili. Palu. Yang kini tempat itu berbentuk gunung serupa layar perahu. Itulah Bulu Masomba. Gunung yang dipercaya sebagai layar perahu Sawerigading. Tokoh yang menurut legenda melayari seluruh perairan Sulawesi. Hingga perahunya terdampar di lembah Kaili.

Dari Bulu Masomba inipula nama Pasar Masomba di Kelurahan Tatura Kota Palu, berasal. Pasar ini berada tepat di samping Mall Tatura Palu. Yang ikut ambruk hampir tak berbentuk akibat bencana itu.

Posisinya yang di dataran tinggi, membuat Kawatuna ketika itu, menjadi salah satu titik pengungsian paling aman. Sekaligus juga menjadi salah satu jalur evakuasi utama korban tewas dari kelurahan Petobo dan Sigi. Ke posko utama Tim Evakuasi.

Waktu itu. Hampir tiap saat. Siang dan malam. 24 jam tiada henti. Ambulance evakuasi melewati kampung halaman saya ini
Kelurahan Petobo. Di mana RSIA Nasana Pura berada. Tempat istri saya melahirkan anak ketiga kami. Benar-benar menerima dampak sangat parah. Akibat gempa berkekuatan 7,4 SR. Di Jum'at petang. Jelang maghrib itu.

Betapa tidak, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, punahnya sebuah kelurahan. Dari ujung Timur hingga Barat. Utara ke Selatan. Sejauh mata memandang. Hanyalah gunungan lumpur dan reruntuhan rumah penduduk. Berikut ribuan penghuninya.

Pepohonan dan hewan-hewan yang beberapa hari lalu masih diternakkan warga, kini semua tinggal gunungan lumpur. Benar-benar amblas rata dengan tanah. Punah tak bersisa. Tinggal puing-puing tak berbentuk.

Di ujung paling Barat kelurahan yang kini hampir punah lebih dari 50 persennya inilah, kami berada ketika guncangan besar itu terjadi.

Keberadaan kami di RSIA tersebut, terkait dengan kondisi Neng Susi. Yang sedang siap-siap hendak melahirkan.

Sesuai janji dengan dokter Wulan sehari sebelumnya, Neng Susi sedianya akan menjalani operasi cesar pada hari Sabtu di RS ini.

Untuk kepentingan itu, mestinya kami baru berada di RS pada Jum'at sore. Setidaknya 12 jam sebelum tindakan operasi. Tentu untuk persiapan operasi itu sendiri.

Namun jadwal masuk RS, ternyata harus dipercepat. Di malam Jum'at itu. Sekira pukul 01.00 WITA. Tanpa disangka. Neng Susi sudah merasakan kontraksi. Jelang subuh kontraksinya semakin ajeg. Setiap 15 menit sekali. Kondisinya yang seperti itu, memaksa rencana harus diubah. Tak bisa lagi menunggu hingga sore. Sesuai janji dengan dokter. Harus segera masuk RS. Pagi itu juga.

Hanya saja tidak bisa seketika itu. Pasalnya di rumah, kami hanya berempat. Bersama 2 anak. Inka dan Rangga. Harus menunggu mereka berangkat sekolah dulu.

Untunglah jelang pagi itu, kontraksinya agak mereda. Neng Susi juga sedikit lebih tenang. Meski sesekali masih merintih kesakitan.

Kami baru bisa bergerak ke RS, setelah kedua anak itu berangkat ke sekolah masing-masing.

Inka kelas 2 SMA Al-Azhar. Di jalan Garuda. Rangga kelas 1 SMP al-Azhar. Di Tanjung Malakosa.

Meskipun saya sudah sangat mengkhawatirkan kondisi Neng Susi, kami baru benar-benar bisa bergerak ke RS, sekitar pukul 08.15 WITA. Itupun setelah terlebih dahulu menjemput Mama. Yang ketika diberitau, meminta untuk ikut menemani kami.

Sampai di sini, ketika menulis kembali kisah ini, saya baru menyadari. Ternyata beberapa rentetan peristiwa. Di pagi itu. Sungguh tak terduga. Merupakan bagian dari skenario sangat rapi. Yang seolah sengaja disiapkan Kuasa Ilahi buat kami.

Terutama kepada Neng Susi.

Skenario ilahi yang memungkinkan kami bisa selamat dari bencana dahsyat. Lagi sangat mengerikan itu.

Tanpa rentetan kejadian yang sesungguhnya sederhana. Bahkan terbilang sepele itu. Mungkin salah satu, sebagian, bahkan seluruhnya dari kami, telah ikut menjadi korban. Di antara ribuan korban yang hingga kini, belum juga ditemukan. Ikut tertimbun ribuan ton lumpur dan reruntuhan rumah yang datang dari arah Timur RS. Dari arah Kelurahan Petobo itu.

Malah bisa jadi pula, kalau bukan karena ikut sibuk dengan kelahiran adiknya. Mungkin saja sore itu, Inka atau salah satu dari kami, berada di lokasi acara Palu Nomoni. Di pinggir pantai Talise. Tempat yang di saat sama juga diterjang gelombang tsunami. Mengakibatkan ratusan korban jiwa. Sebagiannya ditemukan dalam keadaan tanpa busana.

Kejadian-kejadian sepele itu. Dimulai sejak berubahnya jadwal masuk RS. Yang tiba-tiba. Yang harusnya hari Jum'at sore. Berubah menjadi Jum'at pagi. Sampai pada kenyataan bahwa Neng Susi akhirnya tidak jadi dioperasi. Malah tanpa diduga, 'terpaksa' melahirkan normal.

Tak terbayangkan apa yang akan terjadi pada Neng Susi. Bila proses bersalinnya benar-benar melalui tindakan operasi. Tak terbayangkan bagaimana setelah selesai dioperasi, sesuai prosedur, ia harus melewati masa pemulihan selama 6 jam. Di suatu kamar khusus. Tanpa boleh ditemui oleh siapapun.

Bila itu terjadi. Hampir pasti. Ketika guncangan dahsyat dan datangnya banjir bandang lumpur dari arah Petobo yang menerjang RS itu, ia masih berada di ruang isolasi.

Entah dalam keadaan sadar atau tidak.

Kalaupun sadar, tentu dalam kondisi sangat lemah. Pasti tak mampu bergerak secara mandiri. Apalagi untuk bergerak cepat. Untuk menyelamatkan diri dari terjangan ribuan ton lumpur. Yang datang dengan sangat tiba-tiba.

Sungguh sesuatu yang sangat mengerikan pasti telah terjadi.

Begitulah. Pagi itu. Bertiga kami bergegas menuju RSIA Nasana Pura. Sebelum berangkat, masih sempat pula kami sarapan bubur nasi campur kacang ijo. Meski enggan, karena pengen secepatnya tiba di RS, kami tetap harus sarapan. Karena Mama memintanya dengan setengah memaksa. Sampai lupa kalau untuk dioperasi, harus berpuasa beberapa jam sebelumnya.

Akibatnya, begitu tiba di IGD RS, Neng Susi yang sepanjang jalan terus meringis kesakitan karena kontraksi, tak bisa langsung dioperasi. Harus menunggu beberapa jam. Setidaknya sampai perutnya relatif kosong.

Menunggu beberapa jam itu, artinya paling cepat jam 13.00. Tak bisa kurang dari itu. Itupun harus antri. Menunggu selesainya operasi tiga pasien lain. Yang sudah datang sebelum kami. Itu artinya lagi, antrian keempat.

Huuuftt...

Next: https://dandidinda.blogspot.com/2020/02/kisahnyatabencanalembahpalu-part-2-by.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pijar Park Kudus

Setelah sarapan dengan soto Semarang Mat Tjangkir porsi kecil kami lanjutkan balik ke penginapan sekitaran alun alun Kudus. Simpang Tujuh Re...